Senin, 10 Oktober 2011

Hey Arnold!



Pada tahun 1986, Craig Bartlett menciptakan tokoh Arnold. Tokoh ini muncul pertama kali dalam wujud komik dan kemudian dikembangkan ke film serial kartun anak-anak pada tahun 1996. Penayangan di layar televisi berlangsung selama delapan tahun (2004) melalui distribusi jaringan TV Nickelodeon. Di Indonesia, serial kartun ini ditayangkan oleh televisi swasta nasional sejak awal tahun 2000-an sampai sekarang. Dalam film kartun berseri ini, diceritakan Arnold tinggal bersama dengan kakek dan neneknya. Lingkungan tetangga Arnold bercorak multikultural dan terletak di sebuah permukiman berkepadatan rendah di dalam kota. Film ini tidak hanya menyenangkan untuk ditonton oleh anak-anak dan remaja, melainkan memberikan “pelajaran” berharga bagi perencana kota.
Pertama, film ini menyentuh keterkaitan antara lingkungan perkotaan dan anak-anak. Berlatar belakang kehidupan perkotaan di Amerika Serikat, film ini menampilkan interaksi anak dan lingkungan perkotaan yang dinamis. Anak-anak bukanlah kelompok warga kota yang menerima begitu saja lingkungan perkotaan seperti apa adanya. Anak, seringkali, secara kreatif, turut merubah lingkungan untuk menjadikannya tempat yang nyaman dalam berkegiatan. Anak-anak bebas bermain di jalan tanpa harus takut karena lalu lintas kendaraan yang menimbulkan kecelakaan. Dalam suatu episode, kreativitas Arnold dan kawan-kawannya terhadap lingkungan kotanya muncul saat mereka menemukan lapangan bermain, padahal sebelumnya merupakan tempat pembuangan barang-barang bekas.
Kedua, ruang kota digambarkan sarat dengan konflik. Konflik dapat terjadi antara warga kota dan “kekuasaan” (contoh modal pengusaha properti); maupun antarkelompok warga kota (anak dan dewasa). Film layar lebar Hey Arnold! The Movie (2000) mengisahkan seorang pengusaha properti berniat mengubah lingkungan blok Arnold menjadi komplek perbelanjaan (shopping mall). Dalam keadaan terjepit, Arnold dan kawan-kawannya berusaha menyelamatkan blok tempat tinggal mereka.
Dalam konteks di atas pula, ruang adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Seperti dialami di kota besar di Indonesia, lingkungan perkotaan sedikit sekali memberikan peluang anak untuk memanfaatkannya, sebagai tempat berkumpul, bermain, maupun berekreasi. Tempat bermain anak seringkali terlalu eksklusif, umumnya hanya bisa diakses oleh anak-anak dari keluarga berada, seperti kompleks mall dan taman bermain yang jauh dari permukiman. Dalam kondisi tersebut, anak dihadapkan pada ruang kota yang “tidak ramah” bagi sebagian besar anak. Dalam sebuah episode Vacant Lot memperlihatkan perjuangan Arnold dkk untuk mendapatkan “sedikit” ruang untuk bermain yang selama ini dikuasai oleh orang dewasa.
Ketiga, dunia anak terkait dengan pusat-pusat kehidupan sosial mereka, diantaranya: sekolah, rumah, tempat bermain, dan jalan yang perlu direncanakan secara berhati-hati. Rumah merupakan lingkungan yang sangat dikenal anak dan merupakan inisiasi terhadap tatanan sosial. Sekolah menjadi lingkungan kedua yang seiring dengan perkembangan anak, meningkatkan lingkup pergaulan dan diperkenalkan dengan perbedaan sosial. Tempat bermain merupakan wadah bagi pemanfaatan waktu luang secara rutin. Tempat bermain bisa merupakan cerminan ekspresi anak. Koneksi dari ketiga pusat kegiatan tersebut adalah jalan dan pedestrian yang menghubungkan “dunia anak”, layaknya sebuah gambaran ideal mirip Jane Jacobs, 1961 (dalam The Death and Life of Great American Cities).
Film serial ini mencoba menunjukkan bahwa citra perihal anak dan kota seringkali melibatkan kebebasan masa kecil dalam berkegiatan dan mobilitas yang tidak terbatas; sesuatu yang jelas berbeda dengan penggambaran dalam program TV orang dewasa. Vale dan Dobrow ( 2001 ) memperlihatkan hal ini, melalui ungkapan: “…The freeway that appears so prominently is devoid of car, …, the automobile is not allowed to impinge upon primacy of pedestrian dan street life.” Penciptanya, Craig Bartlett, secara eksplisit menyatakan penggambaran perihal kota dalam Hey Arnold! terkait dengan masa kecilnya di Kota Seattle. Meskipun dalam beberapa latar belakang dipengaruhi dimana ia tinggal pada masa dewasanya, Portland dan Brooklyn. Disini citra penciptanya tokoh Arnold sangat dipengaruhi oleh ingatan masa kecilnya dan preferensinya.
Arnold dan teman-temannya seusianya bebas bermain bola dalam di tengah jalan, bersembunyi di lokasi konstruksi, bermain di lumpur, dan berkendara secara bebas di bus kota. Pada intinya, anak memiliki kontrol terhadap ruang kotanya. Dalam pengamatan Vale dan Dobrow ( 2001 ): “… Arnold’s city is a place where urbanity breeds familiarity rather than chance encounters with unexpected persons and challenges.
Bagaimana dengan kota-kota dalam kehidupan nyata? Terutama kota-kota kita di Indonesia? Masalah yang dihadapi barangkali sama antara dua dunia film maupun dunia nyata. Namun, dalam dunia nyata pengamatan terhadap masalah yang terkait anak dan ruang kota sangat jarang menghasilkan solusi. Atau dalam kata lain, penggambaran dalam TV menunjukkan “pelarian” kita (perencana?) terhadap realitas yang sesungguhnya terjadi. Seringkali anak harus terpinggirkan dalam bermain, misalnya, karena lapangan bermainnya telah berubah menjadi mall atau perumahan. Dalam ruang kota yang sesungguhnya, perjuangan anak untuk mendapatkan “tempat” berekspresi, berkegiatan, maupun berekreasi, lebih berat yang ditanggung Arnold.

0 komentar:

Posting Komentar