Jumat, 28 Oktober 2011

Hukum Majalah Porno dan Bahayanya

Bodoh adalah salah satu penyakit hati yang sangat membahayakan dan sangat mengerikan akibatnya. Akan tetapi sering dan mayoritas penderitanya tidak merasa kalau dirinya sedang terjangkit penyakit berbahaya ini. Dan karena penyakit bodoh inilah muncul penyakit-penyakit hati yang lain seperti iri, dengki, riya, sombong, ujub (membanggakan diri) dan lainnya.

Karena kebodohan ini adalah sumber segala penyakit hati dan sumber segala kejahatan. Kebodohan ini penyakit hati yang berbahaya lebih dahsyat dibanding penyakit badan. Karena puncak dari penyakit badan berakhir dengan kematian, adapun penyakit hati akan mengantarkan penderitanya kepada kesengsaraan dan kebinasaan yang kekal. Manusia yang terkena penyakit ini hidupnya hina dan sengsara di dunia maupun di akherat Allah Taala banyak menyebutkan dalam Al-Quran tentang tercelanya dan hinanya serta balasan dan akibat bagi orang-orang yang bodoh yang tidak mau tahu tentang ilmu agama di dunia dan akherat. Diantaranya Allah menyatakan dalam surat Al-Furqon: 44 Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami ?. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya.
Di dalam ayat ini, Allah Taala menyerupakan orang-orang bodoh yang tidak mau tahu ilmu agama seperi binatang ternak bahkan lebih sesat dan jelek.
Di dalam surat Al-Anfal : 22. Allah juga menyatakan: Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli yang tidak mau mengerti apapun (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran).
Dalam ayat ini Allah memberitakan bahwa orang-orang bodoh yang tidak mau memahami kebenaran adalah binatang yang paling jelek diantara seluruh binatang-binatang melata seperti keledai, binatang buas, serangga, anjing dan seluruh binatang yang lain. Maka orang-orang bodoh yang tidak mau kebenaran lebih jahat dan lebih jelek dari seluruh binatang.

Kemudian Allah Taala juga menyatakan bahwa orang-orang yang bodoh seperti orang-orang yang buta yang tidak bisa melihat sebagaimana dalam surat Ar Rodu : 19. Allah berfirman: Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sama dengan orang yang buta ?
Dan sungguh Allah Taala banyak mensifati orang-orang yang jahil itu dengan bisu, buta dan tuli.
Kemudian keberadaan orang-orang yang jahil terhadap dakwahnya para rosul sejak rosul yang pertama sampai rosul yang terakhir, mereka adalah musuh yang paling berbahaya bahkan musuh para rosul yang sebenarnya. Hingga Musa alaihissalam berlindung kepada Allah agar tidak menjadi orang yang jahil, sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh: 67 Aku berlindung kepada Alloh agar tidak menjadi orang yang jahil.
Dan Allah juga memerintahkan kepada nabinya shollallaahu alaihi wassalam untuk berpaling dari orang yang jahil
Dan berpalinglah engkau dari orang-orang yang jahil !

Kemudian Allah Taala juga menyerupakan orang jahil yang tidak menerima dakwah rasul seperti orang yang mati dan telah terkubur, walau jasad mereka hidup. Karena dakwah rasul itu ilmu dan iman. Ilmu dan iman inilah yang menjadikan hati itu hidup, kalau ilmu dan iman tidak terdapat di hati orang maka orang itu menjadi bodoh. Dan orang yang bodoh matilah hatinya.

Akibat dari kebodohan inilah maka kehidupan dia di dunia seperti orang buta tidak bisa melihat kebenaran. Siapa yang tidak mengerti kebenaran maka dia sesat dan menjalani hidup ini tanpa arah.
Orang yang buta mata hatinya akibat kebodohannya, nanti akan dibangkitkan dalam keadaan buta. Dan tempatnya adalah neraka jahannam. Sebagaimana firman Allah Taala dalam surat Al-Isra: 72 dan 97
Barang siapa di dunia ini buta mata hatinya maka dia di akherat lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar Dan kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat diseret atas muka mereka di seret dalam keadaan buta, bisu dan pekak, tempat kediaman mereka adalah neraka jahanam.

Demikianlah akibat dan balasan bagi orang-orang yang bodoh yang tidak mau tahu ilmu agama ini. Karena memang demikianlah keadaan mereka di dunia. Dan manusia dibangkitkan sesuai dengan keadaan hatinya. Kebodohan juga salah satu sifat dari sifat-sifat penduduk neraka sebagaimana Allah menyatakan dalam surat Al-Araf: 179
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya hati tapi tidak digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga tapi tapi tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Dalam ayat ini Allah Taala mengabarkan tentang sifat-sifat penduduk neraka jahanam yaitu orang-orang yang tidak memperoleh ilmu karena tidak mau menggunakan sarana-sarana untuk mendapatkan ilmu yaitu: akal, pendengaran, dan pengelihatan sehingga mereka menjadi orang-orang yang bodoh.

Ini semua adalah menunjukkan tentang jeleknya kebodohan itu dan tercelanya, orang yang jahil di dunia dan di akherat. Betapa bahayanya dan mengerikannya kalau kebodohan itu menimpa seseorang, dia akan menerima akibatnya yang membinasakannya. Padahal kalau kita melihat keadaan kaum muslimin sekarang ini yang ada di sekitar kita, sungguh mereka telah dilanda penyakit yang mengerikan ini. Kalau kita tahu sedikit saja tentang agama ini dan berusaha untuk mengamalkan maka kita akan tahu kenyataan yang menyedihkan, kebodohan telah merata baik secara individu, keluarga, masyarakat dan negara. Namun mereka tidak merasa kalau mereka sedang dijangkit penyakit berbahaya yang akan membinasakan dirinya. Mereka tertawa dan terlena dengan kegemilangan dunia, tidak sadar kalau mereka di atas kesesatan bahkan di dalam kekafiran, kebidahan dan kemaksiatan. Namun karena kebodohan, mereka tidak merasa, bahkan merasa di atas kebenaran dan ketaatan. Tatkala disampaikan Al-haq, mereka merasa resah dan tertuduh sesat. Kenyataan ini melanda mayoritas kaum muslim, orang mudanya, orang tuanya, rakyatnya dan pimpinannya. Sungguh menyedihkan kenyataan ini.

Maka bagaimana kalau hal ini terus berlarut-larut dibiarkan ?
Semoga tulisan singkat ini menjadikan peringatan bagi kita semua, sehingga kita semua tersadar untuk merubah keadaan yang berbahaya dan mengerikan ini untuk kemudian untuk meraih kehidupan yang diridloi oleh Allah Taala yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, di dunia maupun di akherat. Dan keadaan seperti ini tidak akan ada jalan lain untuk merubahnya kecuali dengan bekal ilmu yang bermanfaat. Karena kebodohan adalah penyakit hati yang tidak ada obatnya kecuali dengan ilmu. Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
Tidak lain obatnya kebodohan selain bertanya (HR. Ibnu Majjah, Ahmad dan yang lainnya).
Oleh karena inilah Allah menamakan Al-Quran sebagai obat bagi segala penyakit hati. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Yunus: 57
Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Karena inilah kedudukan ulama seperti dokter, yakni dokter hati. Maka butuhnya hati terhadap ilmu seperti butuhnya nafas terhadap udara bahkan lebih besar.
Ilmu itu bagi hati laksan air bagi ikan, apabila hilang air maka matilah ikan.
Jadi kedudukan ilmu bagi hati laksana cahaya bagi mata, laksana mendengarnya telinga terhadap ucapan lisan, apabila semua ini hilang maka hati itu laksana mata yang buta, telinga yang tuli dan lisan yang bisu.
wallahu taala alam

Wahai anakku,.. bertakwalah kepada Allah!

Wahai anakku...
Sesungguhnya Rabmu mengetahui apa yang kamu betikkan dalam hatimu, dan Dia mengetahui apa yang engkau ucapkan dengan lisanmu, dan Dia melihat terhadap segala amalanmu, maka bertakwalah kamu kepada Allah wahai anakku, dan berhati-hatilah kamu terhadap pengawasan-Nya pada saat kamu dalam keadaan yang tidak diridhai oleh-Nya.

Hati-hatilah kamu dari kemurkaan Rabbmu, yang mana Dialah yang telah menciptakanmu dan memberikan rizki kepadamu serta yang telah mengaruniai kamu akal yang dapat kamu gunakan di dalam kehidupanmu. Bagaimana perasaanmu ketika bapakmu melihat dirimu dalam keadaan melanggar perintahnya? Apakah kamu tidak khawatir nantinya bapakmu akan menghukummu? Maka jadikanlah perasaanmu sama seperti itu [bahkan lebih] kepada Allah, karena Dia dapat melihat dirimu disetiap kesempatan yang kamu tidak dapat melihat Dia! Maka janganlah kamu anggap enteng pada perkara apapun juga yang kamu telah dilarang darinya!

Wahai anakku..
Sesungguhnya Rabmu sangat dahsyat murka-Nya, siksa-Nya teramat pedih, maka hati-hatilah kamu wahai anakku, dan takutlah kamu terhadap kemurkaan-Nya, dan janganlah kamu terlena oleh kasih sayang Rabbmu dan sesungguhnya Allah menangguhkan (siksa-Nya) bagi orang yang berbuat dzalim, sampai-sampai jika Dia menyiksa orang tersebut, niscaya Dia tidak akan melepaskannya.

Wahai anakku...
Sesunguhnya di dalam ketaatan kepada Allah ada kelezatan dan kebahagiaan yang tidak akan dapat dirasakan kecuali dengan mencobanya.

Maka, wahai anakku...
Pergunakanlah ketaatan kepada Allah sebagai bahan ujian pada setiap harinya supaya engkau dapat merasakan kelezatan, dan supaya engkau dapat merasakan kebahagiaan ini, niscaya kamu dapat mengetahui keikhlasan dirku di dalam menasehatimu.

Wahai anakku..
Sesungguhnya engkau akan mendapati rasa berat hati di dalam ketaatan kepada Allah pada pertama kalinya, maka pikullah beban berat ini, dan bersabarlah padanya, sampai ketaatan tersebut engkau rasakan menjadi rutinitas yang dapat dijinakkan.

Wahai anakku...
Lihatlah kepada dirimu ketika dulu kamu berada di bangku (sekolah); kamu belajar membaca dan menulis, dan kamu diperintahkan supaya menghafal Al-Qur'anul Karim dengan mendiktekannya, bukankah kamu dulu di sana benci terhadap bangku (sekolah) serta gurunya, dan kamu berangan-angan supaya cepat berakhir? Nah, pada hari ini kamu telah mencapai kedudukan yang mana kamu dapat mengetahui faedah kesabaran dalam belajar di bangku (sekolah), dan engkau telah tahu bahwa pengajarmu dulu berusaha untuk kebaikan dirimu.

Maka, wahai anakku...
Dengarkanlah nasehatku, dan bersabarlah di atas ketaatan kepada Allah sebagaimana engkau sabar dalam belajar di bangku (sekolah), niscaya nanti engkau akan mengetahui faedah dari nasehat ini, serta akan tampak jelas bagimu apabila hidayah telah membantu untuk beramal dengan nasehat ustadzmu.

Wahai anakku...
Janganlah kamu sekali-kali beranggapan bahwa bertakwa kepada Allah adalah shalat, puasa, dan semisalnya dari berbagai ibadah (yang dhahir) saja. Bahwa sesungguhnya bertakwa kepada Allah mencakup segala sesuatu, maka bertakwalah kamu kepada Allah pada (hak-hak) saudara-saudaramu, janganlah kamu sakiti salah seorang dari mereka, dan bertakwalah kamu kepada Allah pada (hak-hak) negerimu: Janganlah kamu khianati dia dan jangan kamu biarkan musuh menguasainya, serta bertakwalah kamu pada (hak-hak) dirimu, janganlah kamu sia-siakan waktu sehatmu dan janganlah kamu berperilaku kecuali perilaku yang mulia.

Wahai anakku..
Rasulullah saw telah bersabda: Bertakwalah kamu dimanapun kamu berada, dan iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya (kebaikan tersebut) akan menghapusnya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik

Futur, penyebab dan obatnya

Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, lamban dan tidak semangat, padahal sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh dan penuh semangat.

Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da'i dan penuntut ilmu. Sehingga menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan, misalnya futur dalam menuntut ilmu syar'i, futur dalam aktivitas dakwah, futur dalam beribadah kepada Allah dan lainnya.

Orang yang terkena penyakit futur ini ada 3 golongan:
  1. Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
  2. Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.
  3. Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit.
Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim  selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada  yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Diantara sebab-sebab futur:
  1. Hilangnya keikhlasan
  2. Lemah dalam menuntut ilmu syar'i
  3. Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat
  4. Fitnah(cobaan) berupa istri, anak dan harta
  5. Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
  6. Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi
  7. Melakukan dosa dan maksiat serta memakan barang-barang yang haram
  8. Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah)
  9. Lemahnya iman
  10. Menyendiri (tidak mau bergaul dengan komunitas yang baik)
  11. Lemahnya pendidikan
Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahui orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahui orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Diantara obat penyakit futur adalah:
  1. Memperbaharui keimanan. Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjamaah di masjid, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat tahajjud dan witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain-lain dari amal-amal ketaatan.
  2. Merasa selalu diawasi Allah ta'ala dan banyak berdzikir kepada-Nya
  3. Ikhlas dan bertakwa
  4. Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid'ah dan kemaksiatan)
  5. Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah dan dauroh-dauoroh syar'iyyah.
  6. Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri
  7. Mencari teman yang baik (shalih)
  8. Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
  9. Sabar dan belajar untuk sabar
  10. Berdoa dan memohon pertolongan Allah

Kemaksiatan melahirkan kemaksiatan lainnya

Sesungguhnya kemaksiatan yang dilakukan seorang hamba akan melahirkan kemaksiatan-kemaksiatan yang lain, sehingga pelakunya susah dan berat meninggalkannya. Sebagian salaf mengatakan: “Sesungguhnya diantara hukuman keburukan adalah terjadinya keburukan setelahnya, dan sesungguhnya di antara pahala kebaikan adalah kebaikan setelahnya”. Jika seorang hamba telah melakukan sebuah kebaikan, maka kebaikan yang berada di dekatnya mengatakan: “Hendaklah engkau mengamalkan aku juga!”. Jika dia telah mengamalkan kebaikan kedua, maka kebaikan ketiga akan mengatakan seperti itu juga , dan begitu seterusnya. Sehingga kebaikan selalu bertambah dan keuntungan berlipat ganda. Sebaliknya, keburukan juga seperti itu. Maka akhirnya ketaatan dan kemaksiatan itu menjadi sifat yang melekat dan keadaan yang tetap ada pada pelakunya. Jika seorang muhsin (orang yang sudah terbiasa berbuat ketaatan dengan sebaik-baiknya) meninggalkan ketaatan-ketaatan, maka jiwanya tertekan, bumi yang luas terasa sempit, dan dia merasa seperti ikan yang meninggalkan air. Sampai dia kembali melaksanakan ketaatan-ketaatan, maka jiwanya akan menjadi tenang dan hatinya menjadi tenteram. Sebaliknya, jika seorang mujrim (orang yang sudah terbiasa melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang besar) meninggalkan kemaksiatan dan menuju ketaatan, maka jiwanya tertekan, dadanya terasa sempit, sampai dia terbiasa melaksanakan ketaatan-ketaatan (Lihat Ad-Da' wa Dawa' karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
Hal ini diisyaratkan di dalam sebuah hadits Nabi Muhammmad saw dengan sabda Beliau “Hendaklah kamu selalu jujur, karena sesungguhnya jujur itu akan menuntun menuju kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan menuntun kepada surga. Dan tidaklah seseorang selalu berkata jujur dan berusaha menetapi kejujuran, sampai dia ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang sangat jujur. Dan hendaklah kamu selalu menjauhi dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan menuntun menuju kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu akan menuntun menuju neraka. Dan tidaklah seseorang selalu berkata dusta dan selalu memilih kedustaan, sampai dia ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang pendusta (HR. Muslim dari 'Abdullah bin Mas'ud)
Oleh karena itu Allah swt melarang kemaksiatan dan sarana-sarananya. Allah swt telah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tidak nampak.Allah swt juga melarang mendekati perbuatan-perbuatan keji itu dan sebab-sebab yang menghantarkan kepadanya. Semua itu sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan menjaga mereka dari perkara yang membahayakan mereka di dunia dan akhirat.
Diantara perbuatan keji yang telah Allah swt haramkan di dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya adalah zina. Allah swt berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra:32)
Sarana-sarana yang menghantarkan menuju zina juga diharamkan, seperti wanita keluar rumah memakai parfum, membuka aurat kepada orang lain, berbicara manja kepada laki-laki yang bukan mahram, bersafar tanpa mahram, ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan), khalwat (laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya), tabarruj (perbuatan wanita yang memamerkan dandanan dan perhiasan), mengumbar pandangan kepada wanita yang bukan mahram, dan lain-lain.
Ketika larangan Allah swt diterjang, maka apakah yang terjadi? Kemaksiatan berantai membelenggu sang pelaku. Akhirnya berujung kepada zina. Ketika si wanita telah hamil karena zina, aborsi ditempuh sebagai solusi. Dengan banyaknya perzinaan, maka aborsi juga semakin meningkat pesat. Padahal di dalam perbuatan aborsi terdapat berbagai bahaya dan pelanggaran syariat yang dilakukan. Maka perlu ada usaha bersama untuk membendung perilaku menyimpang dari agama ini, sehingga harapan mearaih kebahagiaan dunia dan akhirat bisa diraih oleh umat ini dengan ridha ilahi.

Turunnya Al-Qur'an 2 model: Ibtidaiiyah dan sababiyah

Turunnya Al-Qur'an terbagi menjadi 2 macam:

1. Ibtidaiyah, yaitu ayat yang turun tanpa di dahului suatu sebab tertentu dan kebanyakan ayat Al-Qur'an termasuk jenis ini, diantaranya firman Allah 'azza wa jalla
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ

"Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih" (At-Taubah: 75)

Ayat ini turun tanpa sebab untuk menjelaskan keadaan orang-orang munafik.  Adapun yang dikenal selama ini bahwa ayat ini turun sebab Tsa'labah bin Hatib di suatu kisah yang panjang yang disebutkan oleh banyak ahli tafsir juga banyak disebarkan oleh para penceramah, maka anggapan seperti ini adalah lemah dan tidak benar.

2. Sababiyah, yaitu turunnya ayat yang didahului oleh suatu sebab tertentu. Diantara sebab itu adalah:

a) Jawaban Allah 'azza wa jalla terhadap suatu pertanyaan, misalnya
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan Sabit. Katakanlah: 'Bulan Sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji'" (Al-Baqarah: 189)

b) Sebuah kejadian yang membutuhkan keterangan atau peringatan, contohnya:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

"Dan apabila kamu tanya mereka niscaya mereka akan menjawab: sesungguhnya kami hanya bersendau gurau dan bermain-main saja" (At-Taubah: 65)

Ayat ini dan setelahnya, turun kepada seorang munafik yang berkata di saat perang Tabuk "Belum pernah kami melihat para ahli baca Al-Qur'an seperti ini, orang-orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut dalam peperangan" (mereka maksudkan dengannya Rasulullah saw dan para sahabatnya). Maka berita tersebut sampai kepada Rasulullah saw lalu turunlah ayat ini. Datanglah orang munafik tersebut untuk meminta maaf, maka Rasulullah menjawab:

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

"Apakah dengan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?" (At-Taubah: 65)

c) Suatu perkara realita yang memerlukan penjelasan hukum, contohnya firman Allah 'azza wa jalla

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Al-Mujadilah: 1)

Analisis bahasa, Surat Al-Fatihah

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
  • bi, merupakah huruf  jar
  • ismi, majrur karena didahului oleh bi yang merupakan huruf jar
  • Allahi, majrur karena mudhof ilaihi kepada kata ismi
  • Ar-Rahmaani, majrur karena dia sifat dari kata Allahi
  • Ar-Rahiimi, majrur karena dia sifat dari kata Allahi
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
  • Alhamdu, marfu' karena sebagai mubtadak
  • Lillahi, bentuk jar-majrur menempati posisi marfu' karena sebagai khobar mubtadak
  • Rabbi, majrur karena dia menjadi badal dari kata Allahi
  • Al-'Aalamiina, majrur karena dia mudhof ilaihi kepada kata rabbi
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
  • Ar-Rahmaani, majrur karena dia sifat dari kata Allahi
  • Ar-Rahiimi, marjur karena dia sifat dari kata Allahi
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
  • Maaliki, majrur karena dia badal dari kata Allah pada ayat alhamdu lillahi rabbil 'aalamiina
  • Yaumi, majrur karena dia mudhof ilaihi kepada kata Maaliki
  • Ad-Dini,majrur karena dia mudhof ilaihi kepada kata Yaumi
 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
  • Iyyaka, menempati posisi manshub karena dia maf'ul, bentuk iyyaka merupakan isim  dhamir munfashil, termasuk isim mabni. Asal posisi maf'ul adalah setelah fiil dan fa'ilnya, disini ditempatkan diawal untuk pengkhususan sehingga maknanya adalah hanya kepadamulah
  • Na'budu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu
  • wa, huruf 'athof
  • iyyaka, sudah dijelaskan sebelumnya
  • Nasta'iinu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
  • Ihdi, fiil amr yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta
  • naa, menempati posisi manshub karena dia sebagai maf'ul pertama
  • Ash-Shiraatha, manshub karena dia sebagai maf'ul kedua
  • Al-Mustaqiima, manshub karena dia sifat dari kata Ash-Shiraatha
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
  • Shiraatha, manshub karena dia badal dari kata shiratal mustaqiima
  • Alladziina, menempati posisi majrur karena dia mudhof ilaihi kepada shiraatha, alladzina merupakan isim maushul, termasuk isim yang mabni
  • An'amta, fi'il  madhi yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta
  • 'alaihim, bentuk jar-majrur berhubungan dengan fi'il madhi an'amta
  • ghairi, majrur karena dia badal atau sifat dari alladziina
  • al-maghdlubi, majrur karena dia mudhof ilaihi kepada ghairi
  • 'alaihim, bentuk jar-majrur menempati posisi marfu' karena dia sebagai naibul fa'il dari isim maf'ul al-maghdluubi
  • wa, huruf 'ataf
  • la, huruf nafi
  • adl-dlooliina, majrur karena dia athof kepada al-maghdlubi

Kapan sebuah hadits dikatakan sebagai hadits shahih?

Untuk mengetahui apakah sebuah hadits merupakan hadits shahih atau hadits daif diperlukan sebuah ilmu yang dikenal dengan ilmu mustholah hadits. Banyak kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama ahli hadits yang membahas tentang ilmu mustholah hadits ini.

Untuk menyederhanakan pembahasan agama, sering yang kita baca atau dengar dari sebuah hadits hanya matan/isi dari sebuah hadits, padahal sebenarnya para ulama ahli hadits meriwayatkan tidak hanya matan/isi akan tetapi juga sanad/periwayatan (urutan periwayatan hadits dari Rasulullah saw atau sahabat sampai kepada para ulama penulis hadits). Jadi dalam teks hadits yang lengkap terdiri dari 2 bagian:
  • Sanad/periwayatan
  • Matan/isi
Dr. Mahmud Thahan dalam kitab beliau, Taisir Musthalah Hadits menjelaskan sarat-sarat sebuah hadits dihukumi sebagai hadits shahih.
  • Sanadnya tersambung, artinya setiap rawi mengambil haditsnya secara langsung dari orang di atasnya, dari awal sanad hingga akhir sanad
  • Adilnya para perawi, yaitu setiap periwayat harus: muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak buruk tingkah lakunya
  • Dlabith, yaitu setiap rawi harus sempurna daya ingatnya, baik dalam hafalan atau catatan.
  • Tidak syadz, yaitu tidak menyilisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah
  • Tidak ada illat, yakni haditsnya tidak cacat.
Sebagai contoh, sebuah hadits dalam Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)

Hadits diatas dihukumi sebagai hadits shahih karena:
  • Sanadnya tersambung, sebab masing-masing periwayat yang meriwayatkan telah mendengar haditsnya dari syaikhnya (gurunya). Sedangkan adanya 'an'anah yaitu Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jabir termasuk bersambung karena mereka bukan mudallis
  • Para periwayat hadits diatas semuanya adil dan dlabith. Kriteria mengenai mereka (para perawi hadits) telah ditentukan oleh para ulama Jarh wa Ta’dhil, yaitu:
    -Abdullah bin Yusuf: orangnya tsiqah (terpercaya) dan mutqin (cermat)
    -Malik bin Anas: Imam sekaligus hafidz
    -Ibnu Syihab Az-Zuhri: orangnya faqih, hafidz, disepakati tentang ketinggian kedudukan dan kecermatannya
    -Muhammad bin Jabir: tsiqah
    -Jabir bin Muth’im: sahabat
  • Tidak syad, karena tidak bertentangan dengan perawi yang lebih kuat
  • Tidak ada illat (cacat) dalam hadits diatas
Untuk mengetahui keadilan dan kedlabithan para perawi dengan cara meneliti biografi mereka. Para ulama telah menulis biografi para perawi dalam kitab yang banyak, diantara kitab-kitab yang memuat biografi para perawi hadits yaitu:
  • Tarikh Kabir, karya Imam Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif
  • Al-Jarh wa ta’dhil karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif
  • Al-Kamil fi Asmair Rijal karya Abdul Ghani. Kitab ini membahas perawi hadits yang terdapat dalam kitab Kutubus Sittah
  • Dan lain-lain

Hadits Surga di bawah telapak kaki ibu

الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن
Surga berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya

Hadits ini hadits maudhu' (palsu). Telah diriwayarkan oleh Ibnu Adi (I/325) dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu’anhu.. Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini munkar. Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun mayoritas rijal sanadnya majhul.

Dalam masalah ini, saya kira cukupi dengan riwayat yang di keluarkan oleh Imam Nasa'i dan Thabrani dengan sanad hasan, yaitu kisah seseorang yang datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya, Adakah engkau masih mempunyai ibu? Orang itu menjawab, Ya, masih. Beliaupun kemudian bersabda,

فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya (*)


Referensi
Hadits ke 593 dari kitab Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah karya Syaikh Al-Bany, edisi terjemahan, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu jilid-2, cetakan Gema Insani Press

(*) Nabi mempertimbangkan anak tersebut untuk ikut berjihad karena belum dewasa.
ن 

Kedhaifan hadits Perselisihan umatku adalah rahmat

اختلاف أمتي رحمة
“Perselisihan di antara umatku adalah rahmat”

Hadits ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subki mengatakan, “Hadits tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang sahih, dha'if, ataupun maudhu'. Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati Syeikh Zakaria al-Anshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situ ia mengatakan, Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti. Ibnu Hazem dalam kitab al Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, Ini bukan hadits. Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan itu merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan. Ini tidak mungkin akan diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslim yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya, hanya dua alternatif, yakni bersepakat atau berselisih, yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).

Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhab yang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut mazhab lain. Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanya pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada AlQur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih. Padahal, itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, Bila hadits itu sahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, ikutilah Qur'an dan Sunnah serta campakkanlah ijtihad dan pendapatku. Itulah mereka.

Ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al Qur'an serta mencamkan firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 82

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا

... Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa':82)

Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian, bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? La haula wala quwwata illa billah!

Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam -- khususnya dewasa ini -- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah:

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu ....(al-Anfal: 46)

Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi ayat Qur'an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah saw.

Barangkali muncul pertanyaan : para sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat, padahal mereka adalah seutama-utamanya manusia. Lalu apakah mereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat yang baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah ditiadakan dosa atas mereka karena kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat kebenaran baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.

Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam AI-Qur'an dan Sunnah ditujukan bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan Qur'an dan Sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada si Fulan dan si Fulan, bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak pada fanatisme sempit ala jahiliah demi menyuburkan firqah. Mereka sengaja menolak Al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah. Kecaman dan ancaman tadi khusus untuk mereka yang bila isi Qur'an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliyahnya.

Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semua itu bila Anda mengharap keselamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Lihat al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, V/ 67-68).

Setiap amalan tergantung niatnya

Dari Amirul Mu’minin Abu Hafs ‘Umar ibnu Al-Khathab radhiyalallahu ta’ala ’anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keistimewaan Hadits Ini
Hadits ini merupakan hadits yang sangat agung, Imam Ahmad berkata: Pokok ajaran Islam terdapat pada 3 hadits:
  1. Hadits 'Umar, Setiap amalan tergantung pada niatnya
  2. Hadits 'Aisyah, Barangsiapa yang membuat suatu amalan dalam islam yang tidak ada asalnya maka amalan tersebut tertolak
  3. Hadits Nu'man bin Basyir, Perkara halal jelas dan perkara haram jelas, diantara keduanya ada perkara yang masih samar-samar
Hal ini karena Islam terdiri dari melaksanakan perintah, menjauhi larangan serta berhenti dari hal yang masih samar darinya yakni perkara mutasyabihat sebagaimanana hadits Nu’man bin Basyir, kemudian dalam melaksanakan hal-hal tersebut dinilai dari 2 sisi, lahir dan bathin, penilaian dari sisi bathin dengan hadits Umar dan penilaian sisi lahir dengan hadits ‘Aisyah, sehingga lengkaplah pokok ajaran Islam dalam 3 hadits tersebut.

Niat
Niat menurut istilah syar'i adalah bermaksud kepada sesuatu yang disertai perbuatan. Jika bermaksud kepada sesuatu tetapi tidak disertai perbuatan maka ini dinamakan azzam.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa sabda Rasulullah shalallahu wa 'alaihi wa sallam Setiap amalan tergantung niatnya dibawa pada sihhatul a’mal (sahnya amalan) atau tashhihul a’mal (pembenaran amal) atau qabulul a’mal (diterimanya amalan) atau kamalul a’mal (sempurnanya amalan).

Amalan disini adalah amalan yang dibenarkan syariat, sehingga tidaklah diterima amalan yang dilarang syariat dengan dalih niatnya benar, misalkan seorang kepala rumah tangga yang berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya akan tetapi dengan cara mencuri, kemudian dia berdalih “Niat saya kan baik, untuk menafkahi istri dan anak-anak”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utaimin menjelaskan: Dari sabda Nabi shalallahu wa 'alaihi wa sallam Setiap amalan tergantung niatnya dapat diambil kesimpulan bahwa setiap amalan terjadi karena adanya niat pelakunya. Dalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang yang selalu was-was, kemudian melakukan amalan beberapa kali, lalu syaitan membisikan kepadanya Sesungguhnya kamu belum berniat. Kita katakan kepada mereka: Tidak, tidak mungkin kalian beramal tanpa niat. Oleh karena itu permudahlah bagi kalian dan tinggalkanlah wa was-was seperti ini.

Adapun tempat niat di dalam hati dan melafadzkannya merupakan bid'ah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu'anhu bahwa ia mendengar orang berkata dalam ihramnya, Ya Allah, aku berniat haji atau umrah, Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut, Apakah engkau memberitahu manusia? Bukankah Allah lebih mengetahui terhadap apa saja yang ada di jiwamu?

Jenis-jenis Niat
Para ulama membahas niat dengan 2 makna:
  1. Niat yang berarti tujuan amalan tersebut apakah hanya untuk Allah atau disertai tujuan lainnya misalnya riya dan sum’ah
  2. Niat yang merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah.

Niat, untuk siapa amalan tersebut
Niat amalan yang disertai riya maka akan menghapus pahala. Adapun riya ada 2 jenis:
  1. Mengerjakan amalan karena riya
  2. Mengerjakan amalan karena Allah dan riya
Semua jenis riya ini akan menghapuskan pahala.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyalallahu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
”Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan dimana ia menyekutukan orang lain bersama-Ku di dalamnya, Aku meninggalkannya bersama sekutunya”

An-Nasai meriwayatkan hadits dari Abu Umamah radhiyalallahu ta'ala 'anhu, Ia berkata Seseorang datang kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, Bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena mencari pahala dan nama, apa yang ia dapatkan? Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Ia tidak mendapatkan apa-apa. Beliau bersabda lagi, Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang ikhlas dan dimaksudkan untuk mencari keridaan-Nya (AL-Hafidz Al-Iraqi menghasankan hadits ini dalam Takhriju Ahaditsil Ihya)

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyalallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Manusia yang pertama kali di adili pada hari Kiamat ialah orang yang mati di medan laga. Ia didatangkan kemudian Allah memberitahu nikmat nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga aku gugur sebagai syahid”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan betul bahwa engkau sudah dikatakan sebagai pemberani”. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka. Dan juga orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan membawa Al-Quran, orang tersebut didatangkan, kemudian Allah memberitahu nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Quran dijalan-Mu”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai alim dan membaca Al-Quran agar dikatakan sebagai qari dan betul ngkau telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka. Juga orang yang diberi kemudahan oleh Allah dan diberi dengan berbagai macam harta. Orang tersebut didatangkan kemudian Allah memberitahukan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan salah satu jalan yang Engkau sukai kalau harta diinfakkan di jalan tersebut melainkan Aku menginfakkan harta didalamnya”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau melakukan seperti itu agar dikatakan sebagai dermawan, dan betul telah dikatakan kepadamu sebagai orang yang dermawan”. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka.


Dalam hadits diatas disebutkan bahwa ketika Muawiyah diberitahu tentang hadits ini, ia menangis hingga pingsan. Ketika siuman, ia berkata, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya”, Allah azza wa jalla berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka” (Huud: 15-16)

Sebagaimana halnya riya, sum’ah juga dapat menghapus pahala amalan. Sum’ah adalah mengerjakan amalan untuk Allah dalam kesendirian (tidak dilihat manusia), kemudian dia menceritakan amalannya itu kepada manusia. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa berbuat sum’ah (menceritakan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan menceritakan aibnya dan barangsiapa berbuat riya’ (memperlihatkan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan memperlihatkan aibnya” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya)

Para ulama berkata, “Jika seorang alim yang menjadi teladan, dan ia menyebutkan amalannya itu dalam rangka mendorong orang-orang yang mendengarnya agar mengerjakan amalan tersebut, maka ini tidaklah mengapa” (Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, Imam Nawawi)

Bagaimana jika seseorang pada awalnya ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian muncul riya ketika amalan sedang dilakukan? Apakah amalannya diterima? As-Samarqandi rahimahullah berkata: Amalan yang diniatkan untuk Allah ta'ala diterima, sedangkan amalan yang dia niatkan untuk manusia, maka tertolak. Sebagai contoh orang yang mengerjakan shalat Dzuhur dengan tujuan mengerjakan kewajiban yang diberikan oleh Allah ta'ala kepadanya. Dalam shalatnya, dia memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta membaguskan gerakannya karena ingin dipuji orang yang melihatnya. Maka orang seperti ini, amalan shalatnya diterima, tetapi panjang dan bagusnya shalat yang dilakukan karena manusia tidaklah diterima. (Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, Imam Nawawi)

Niat, Pembeda ibadah dengan ibadah lainnya atau ibadah dengan adat
Niat dapat merupakan pembeda ibadah yang satu dengan ibadah lainnya atau ibadah dengan adat kebiasaan. Misalnya seseorang shalat 2 rakaat, shalatnya dapat berupa shalat Tahiyatul Masjid ataupun Shalat Rawatib, yang membedakan adalah niatnya.

Niat juga dapat membedakan antara pekerjaan sehari-hari berupa adat kebiasaan dengan ibadah. Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam , ``Dan setiap orang mendapat balasan sesuai dengan niatnya``, merupakan penjelasan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan apa-apa dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan. Sebagai contoh, jika sesorang jima' dengan istrinya, menutup pintu, mematikan lampu ketika hendak tidur dan amalan-amalan lain yang disebutkan dalam nash-nash yang jika itu diniatkan untuk melaksanakan perintah Allah maka ia mendapatkan pahala, adapun jika diniatkan untuk selain itu maka ia tidak mendapatkan pahala.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Dzar secara Marfu':
Dan menggauli istri juga sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang diantara kita melampiaskan syahwatnya, ia akan mendapatkan pahala? Beliau menjawab Beritahukan kepadaku apa pendapat kalian jika ia menyalurkannya pada tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Demikian pula, jika ia menyalurkannya pada tempat yang halal, maka iapun akan mendapat pahala. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad).

Dan juga hadits dari Jabir secara Marfu':
Tutuplah pintu dan sebutlah Nama Allah azza wa jalla karena syaitan tidak dapat membuka pintu yang ditutup, matikan lampu-lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah bejanamu meskipun hanya dengan tongkat yang kamu letakkan di atasnya dan sebutlah nama Allah, dan ikatlah gerabimu dan sebutlah nama Allah (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Hijrah
Setelah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kaidah bahwa setiap amalan tergantung niatnya, Beliau memberikan contoh berupa hijrah, Barangsiapa yang berhijrah hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan

Asal kata hijrah adalah meninggalkan negeri syirik dan pindah ke negeri Islam. Hijrah dari negeri kafir wajib jika seseorang tidak mampu menampakkan agamanya dengan melakukan syiar-syiar Islam, seperti adzan, shalat jamaah, shalat 'Ied dan syiar-syiar Islam lainnya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan terdapat unsur penghinaan kepada dunia yang menjadi motivasinya, tidak seperti kata Allah dan Rasul-Nya yang diulang.

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini:
  1. Setiap amalan dilakukan pasti dengan adanya niat sebagaimana hadits Setiap amalan tergantung niatnya. Niat tempatnya di hati dan melafadzkannya adalah bid'ah.
  2. Pentingnya mengikhlaskan setiap amalan hanya kepada Allah
  3. Peringatan bahaya riya dan sum'ah, seseorang tidak hanya amalannya tidak terima ketika dibarengi dengan riya akan tetapi juga mendapat adzab sebagaimana hadits dari Abu Hurairah tentang 3 kelompok manusia yang beramal dengan amalan utama akan tetapi tidak ikhlas.
  4. Pentingnya menuntut ilmu karena dengan ilmu dapat diketahui pahala amalan-amalan yang sering dilakukan sebagai adat sehari-hari, amalan tersebut tidak akan mendapat pahala jika kita tidak mengetahui ilmunya dan meniatkan untuk melaksanakan perintah Allah.
  5. Niat menjadi pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Ibadah mendapat pahala sedangkan kebiasaan tidak mendapatkan pahala.
  6. Pengajar hendaknya memberikan contoh-contoh ketika menjelaskan sebuah hukum sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan contoh hijrah ketika menjelaskan masalah niat.
  7. Hijrah merupakan amalan salih jika niatnya benar

Kedaifan hadits “Menarik makmum ke belakang jika shaf depan penuh“

“Apabila salah seorang dari kalian sampai pada shaf yang telah penuh, maka hendaklah menarik seorang dari barisan itu dan menempatkannya di sebelahnya“

Hadits ini dha'if. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu'jam al Ausath (I/33) dengan sanad dari Hafsh bin Umar Ar Rabbali, dari Bisyr bin Ibrahim, dari al-Hajjaj bin Hasan, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu. Ath-Thabrani berkata, Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini, dan secara tunggal dikisahkan oleh Bisyr.

Yang saya ketahui, Ibnu Adi mengatakan bahwa Bisyr adalah termasuk dalam deretan perawi pemalsu hadits. Ibnu Hibban pun menyatakan hal serupa, bahkan lebih tegas, Bisyr bin Ibrahim terbukti telah memalsukan riwayat/hadits.

Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah, Hadist No.921


“Tidakkah kamu masuk dalam barisan (shaf), atau kamu menarik seseorang untuk shalat berdampingan denganmu, atau bila tidak, hendaknya kamu ulangi shalatmu”


Hadits ini sangat dha'if. Telah dikeluarkan oleh Ibnul A'rabi dalam al-Mu'jam, Abu Asy-Syaikh serta Abu Naim dalam Akhbar Asbahan, dengan sanad dari Yahya bin Abdawaihi, dari Qais bin Ar-Rabi’, dari As-Suddi, dari Zaid bin Wahb, dari Wabishah bin Ma'bad bahwasanya ada seorang yang melakukan shalat di belakang shaf secara sendiri, maka Rasul pun menegur seraya bersabda ...

Menurut saya, sanadnya sangat ngambang, sebab Qais lemah sekali bahkan Ibnu Abdawaihi lebih dha'if lagi, seperti yang telah saya jelaskan pada halaman terdahulu, karenanya tidak perlu untuk diulang kembali.

Satu hal yang perlu disinggung, bahwa setelah kita ketahui kedha'ifan riwayat ini maka tidaklah dibenarkan kita menarik seorang dari shaf yang di depan untuk mendampingi kita dalam shalat. Sebab bila hal ini dilakukan berarti sama saja membuat aturan sendiri, atau dalam istilah syar'i berarti mentasyri'kan suatu amalan tanpa berdasarkan nash yang sahih. Hal seperti ini di kalangan ulama tidak dibenarkan. Maka wajib bagi orang yang akan shalat itu untuk bergabung dalam shaf yang ada bila memungkinkan, atau bila tidak memungkinkan hendaklah membuat shaf meskipun sendirian, dan dalam hal ini shalatnya dibenarkan atau sah secara syar'i. Wallahu a'lam.

Kedhaifan hadits ''Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina''

 Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina

Riwayat ini batil. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi II/207, Abu Naim dalam Akhbar Ashbahan II/206, Al-Khatib dalam At Tarikh IX/364 dan sebagainya, yang kesemuanya dengan sanad dari Al-Hasan bin Athiyah, dari Abu Atikah Tharif bin Salman, dari Anas bin Malik radiallahu ‘anhu. Kemudian semuanya menambahkan lafazh “fainna thalabul ilmi faridatun ‘ala kulli muslimin. Ibnu Adi berkata: “Tambahan kata walaw bish Shin kami tidak mengenalinya kecuali hanya datang dari Al-Hasan bin Athiyah”. Begitu pula pernyataan Al-Khatib dalam kitab Tarikh seperti dikutip Ibnul Muhib dalam Al-Fawaid.

Kelemahan riwayat ini terletak pada Abu Atikah yang telah disepakati muhaditsin sebagai perawi sanad yang sangat dhaif, bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar riwayatnya. Begitu pula jawaban Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang Abu Atikah ini.

Ringkasnya, susunan dari hadits diatas adalah sangat dhaif atau bahkan sampai ke derajat batil. Saya kira kebenaran ada pada ucapan Ibnu Hibban dan Ibnul Jauzi yang berkata bahwa hadits di atas tidak ada sanadnya yang baik atau bahkan dianggap baik sampai derajat dapat dikuatkan atau saling menguatkan antara satu sanad dengan sanad yang lainnya.

Adapun bagian kedua (tambahannya), mungkin dapat dinaikkan derajatnya kepada hadits hasan, seperti yang diutarakan oleh Al-Mazi sebab sanadnya banyak yang bersumber pada Anas radiallahu ‘anhu. Dalam hal ini dari hasil penyelidikan yang saya lakukan, saya telah menemukan delapan sanad yang dapat diandalkan yang kesemuanya bersumber kepada Sababat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ali, Abu Said, dan sebagainya. Hingga kinipun saya masih menelitinya hingga saya benar-benar yakin dalam memvonis shahih, hasan ataupun dhaifnya sanad-sanad tersebut, wallahu a’lam

Menanti Kedatangan BuahTangan-Nya

Fenomena ini mungkin tidak akan kami sampaikan pada kesempatan ini jika saja saudari-saudariku sepondokan, baik yang berstatus aktivis muslim maupun bukan, mampu menjaga kehormatan dirinya dan bersabar atas berbagai macam gelombang syahwat dan syubhat yang terus didengung-dengungkan oleh pihak yang tidak senang dengan kejayaan agama ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan fitnah (ujian) ini terhadap umatnya. Sebagaimana yang telah disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti hawa nafsu pada perut kamu dan kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan.”
(HR. Ahmad).

Dengan penuh kesabaran, mereka akan senantiasa terus merusak generasi muda serta kaum wanitanya. Mengapa ? karena dari wanita-wanita yang rusak moralnya akan terlahir generasi penerus bangsa yang rusak pula ditambah lagi para pemudanya yang tidak tahu lagi menjaga adab-adab dalam bergaul yang telah ditentukan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan telah temaktub di dalam agama yang telah sempurna ini.

Memang betul diri ini bukanlah pribadi yang alim namun ijinkanlah kami mengisi catatan kehidupan kami dengan sesuatu yang bermanfaat bagi agama ini. Adanya tulisan ini juga bukan berarti kami ingin memposisikan sebagai pihak yang paling benar, sekali lagi tidak.
Mudahan-mudahan uraian ini mampu mewakili kebiasaan kaum kami ketika berinteraksi dengan kaum hawa.

Harapan kami melalui media ini ialah engkau bersama teman-teman kosmu proaktif dalam mencegah kemungkaran, terutama di lingkungan terkecilmu, yaitu di pondokan. Sekurang-kurangnya saling nasehat-menasehati dan saling mengingatkan saudaranya, yang masih belum memperoleh hidayah, agar terhindar dari bahaya tersebut.

Kami yakin di benak ukhti telah tersirat keinginan di atas namun terganjal sesuatu. Bisa saja berupa perasaan bahwa dirinya belumlah pantas menasehati saudaranya. Entah dikarenakan merasa lebih muda, kurang sholeh, masih kurang ilmu agamanya dibandingkan dia, tidak ingin membuka aib saudaranya, tidak ingin membuat saudaranya sedih kemudian akan membenci ukhti, atau tidak ingin mencampuri urusan orang lain.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmu kepada manusia.

Beliau bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat”.
(HR. Bukhari & Muslim).

Nah, bukankah ayat yang telah ukhti hafal tidak hanya satu... Mulai dari ayat pertama Surah An-Naas sampai…Kami yakin telah beratus-ratus ayat dalam memorimu. Apakah itu masih belum cukup ? Hmmm, menunggu hingga menjadi hafidzhoh, kah ?


“Jadilah kalian di tengah manusia laksana lebah di tengah bangsa burung, tiada seekor burung pun melainkan menganggap remeh terhadapnya, padahal seandainya bangsa burung itu mengetahui barokah yang terkandung di perut lebah, niscaya mereka tak akan meremehkannya. Maka bergaullah di tengah manusia dengan lisan dan jasad kalian dan berbaurlah bersama mereka dengan amal shalih dan hati kalian. Sesungguhnya manusia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia usahakan dan pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan bersama siapa yang dicintainya”.
(Ali bin Abi Thalib radhiallahu'anhu).

Perlu diingat pula bahwa azab yang ditimpakan terhadap suatu kaum yang di dalamnya penuh dengan kemungkaran dan kemaksiatan tidak hanya menimpa kepada mereka yang bermaksiat tetapi juga akan menimpa selain mereka. Begitu banyak contoh musibah di negeri ini dimana korbannya tidak hanya dari kalangan ahli maksiat namun juga menimpa orang-orang sholeh di daerah tersebut. Apakah gempa di Bengkulu hanya menimpa ahli maksiat sajakah ? Atau apakah ukhti tega menimpakan azab Allah kepada seluruh penghuni pondokan walaupun secara tidak langsung ?

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu, dan ketauhilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal: 25).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya manusia apabila melihat seorang yang zhalim lalu tidak mencegahnya, niscaya, hampir-hampir Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan azab untuk mereka semuanya.”
(HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

Ketika kita telah mengetahui pentingnya ilmu, maka sebagai buah dan konsekuensi dari ilmu tersebut adalah beramal. Bayangkan jika ada seorang kimiawan yang sudah menguasai teori reaksi kimia, menguasai teori bahan-bahan kimia, dan trik mencampur bahan tersebut agar menghasilkan reaksi kimia yang cepat dan aman namun dia tidak mau mengaplikasikan ilmunya tersebut. Apakah teori tersebut dapat dikatakan bermanfaat bagi dirinya ?

Begitupula ilmu agama yang telah kita pelajari tanpa kita amalkan maka tidak akan bermanfaat bagi kita karena Allah akan menghisab tentang apa yang kita amalkan disamping apa yang kita ketahui. Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu maka ia telah menyerupai kaum Nasrani dan barangsiapa yang berilmu tanpa mengamalkannya maka ia telah menyerupai kaum Yahudi. (Tafsir Ibnu Katsir).

Ibnu Mas’ud rahimahullah berkata, “Belajarlah ilmu. Apabila sudah tahu, maka amalkanlah”. Selain itu betapa indahnya perkataan Fudhail bin Iyadh rahimahullah, “Seseorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim”.

Perkataan ini mengandung makna yang dalam karena apabila seseorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka dia adalah orang yang bodoh. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh. Maka seseorang yang berilmu tidaklah menjadi seorang alim yang sebenarnya sampai dia mengamalkan ilmunya.

Semua orang yang belajar ilmu dengan tujuan bukan untuk mengamalkannya akan diharamkan baginya keberkahan ilmu, kemuliaannya, dan pahalanya yang agung.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita dari tidak mengamalkan ilmu dengan sabdanya,

“Perumpamaan orang yang mengajari orang lain kebaikan, tetapi melupakan dirinya (tidak mengamalkannya), bagaikan lilin yang menerangi manusia sementara dirinya sendiri terbakar”. (HR. Thabrani. Muhaddits abad ini, Muhammad Nashiruddin Albani, berkata sanadnya jayyid (baik)).

Kiranya, dalil berikut ini cukup bagi saudariku yang di kampus aktif di organisasi keagamaan. Bahkan menjadi pemandu asistensi agama Islam di prodinya. Namun ketika berada di pondokan, malah hobi mendatangkan teman lelakinya. Maka dikhawatirkan ia termasuk golongan yang menyuruh orang lain berbuat kebajikan namun ia sendiri terjatuh dalam keburukan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya, “Didatangkan seseorang pada hari kiamat kemudian dia dilemparkan ke neraka sehingga terurai usunya dan dia berputar sebagaimana kedelai berputar pada penggilingan. Kemudian berkumpullah para penghuni neraka disekelilingnya dan berkata, “Wahai fulan, apa yang menimpamu ? Bukankah kamu dulu menyuruh kami untuk berbuat baik dan mencegah kami dari kemungkaran ?” Kemudian orang tersebut berkata, “Dahulu aku menyuruh berbuat kebaikan tapi aku tidak melakukannya dan aku mencegah perbuatan munkar namun aku melakukannya.”
(HR. Bukhari & Muslim dari Usamah bin Zaid).

Kami yakin saudariku tentu telah memperoleh proses tarbiyah di lingkungan kampus, organisasi, maupun liqo. Namun siapa yang mampu menjamin sepulangnya dari liqo atau kajian keilmuan mereka akan terbebas dari perilaku jahil. Bahkan orang sekelas murabbi pun tidak akan mampu menjaga kondisi keimanan para mutarabbi-nya akan tetap istiqomah sebagaimana yang ditampakkannya ketika liqo.

Mudah-mudahan kajian-kajian, entah itu liqo, TTS, dan lain sebagainya, yang sedang saudari-saudariku ikuti mampu membentengi dirinya dari terkaman kami, para serigala berbulu domba. Dan juga semoga beberapa penggal kalimat di bawah ini dapat menjadi bahan bagi ukhti untuk dapat menyelamatkan saudaramu, terutama yang berada satu pondokan, agar tidak semakin dalam tergelincir dalam jurang kemaksiatan.

Tentunya semua itu dilakukan dengan niat ikhlas berdakwah lillahi ta’ala serta penuh hikmah agar mereka segera sadar akan kekeliruannya selama ini. Kebenaran yang pada asalnya susah untuk diterima oleh jiwa, ketika disampaikan dengan cara yang buruk dan kasar, tentunya justru akan membuat orang semakin lari dari kebenaran. Oleh karena itulah, dakwah pada dasarnya harus disampaikan dengan cara lemah lembut.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan mauidzoh hasanah (pelajaran yang baik) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya. Dan tidaklah kelemah-lembutan itu tercabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya menjadi jelek.” (HR. Muslim).




Wahai saudariku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Allah ta'ala memberikan permisalan tentang orang yang telah mengumpulkan banyak kebaikan akan tetapi nanti di akhirat, amalan kebaikan yang diandalkannya tidak dapat banyak bermanfaat,

Allah berfirman yang artinya,
”Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS. Al-Baqarah:266).

Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma ketika menjelaskan ayat di atas, beliau mengilustrasikan dengan orang kaya yang beramal karena taat kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan padanya, lalu orang itu melakukan banyak kemaksiatan sehingga amal-amalnya terhapus (Tafsir Ibnu Katsir).

Oleh karenanya tidaklah pantas diri kita merasa sungkan menasehatinya hanya karena amal ibadahmu belumlah sebanyak dia. Ketauhilah, sebagaimana hadits di atas, amal ibadah sebanyak apapun tidak akan banyak bermanfaat baginya bilamana dirinya masih gemar bergelimang dalam kemaksiatan. Atau engkau merasa belum bisa menyaingi kekayaan mereka ? Atau menganggap dirimu bodoh hanya karena IP-mu di bawah saudaramu ?

Marilah kita merenungkan sejenak sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang ‘alim (pandai) dalam masalah duniawi namun jahil (bodoh) terhadap masalah akhirat”. (Shahihul Jami’: 1875).

Saudariku…sering kali kita melihat seseorang yang bergelimang dalam kemaksiatan namun Allah Ta’ala memberinya kenikmatan duniawi yang sangat besar dan kemudahan dalam melakukan segala urusannya. Ada yang diberi harta yang melimpah, rumah mewah, mobil bagus, dan lain-lainnya. Namun di sisi lain, kita melihat orang-orang yang dikenal dengan ketaatan pada Allah banyak mendapatkan cobaan duniawi baik berupa kemiskinan, kekurangan uang, penyakit dan lain sebagainya.

Ya… bisa juga dianalogikan dengan keadaan umat Islam kini dibandingkan umat lainnya. Dimana orang-orang yang maju dalam bidang ekonomi, teknologi, perindustrian, dll masih didominasi oleh umat non muslim sedangkan kaum muslimin hanya sebagai penonton dan masih berada dalam keterpurukannya hingga saat ini. Apakah Allah Ta’ala tidak adil dalam memberikan balasan pada hamba-Nya ?

Saudariku…itulah istidroj yang menipu
Kita melihat orang yang bergelimang dalam kemaksiatan kepada Allah malah dibukakan pintu rezeki seluas-luasnya serta dimudahkan segala urusan hidupnya. Maka demikianlah hakikat istidroj (dilulu). Allah akan memberi mereka kenikmatan duniawi sehingga mereka akan terus-menerus melakukan kemaksiatan dan mereka merasa aman dari makar Allah. Sampai suatu saat Allah akan membalasnya dengan azab yang sangat pedih setelah dosa-dosa kemaksiatannya bertumpuk. Na’udzu billahi min dzaalik.



Bagi saudara kita yang belum tersadar akan kekeliruannya selama ini, cukuplah dalil di bawah ini menjadi renungan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah ? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf: 99).

Allah juga mengancam orang yang merasa PD melanggar rambu-rambu syariat-Nya dan terus-menerus tenggelam dalam kemaksiatan. Allah berfirman yang artinya,
“Maka serahkanlah kepada-Ku orang-orang yang mendustakan perkataan ini. Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh.”
(QS. Al-Qolam: 44-45).

Sebenarnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengingatkan kita namun banyak saudara kita yang enggan menghadiri majelis ilmu. Sehingga warisan beliau ini makin asing di telinga kita. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Jika engkau melihat seorang hamba yang senantiasa diberi kenikmatan dunia yang diinginkannya sementara dia senantiasa berada dalam kemaksiatan, maka itulah istidroj.”(HR.Ahmad & Ibnu Jarir).

Lebih tragisnya lagi apabila kita masih saja merasa lalai akan makar Allah. Maka secara tidak sadar kita telah terjerembab ke dalam dosa besar. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma tentang dosa besar, maka beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.”(HR. Al Bazar & Ibnu Abi Hatim).

Adakalanya sikap lalai ini disebabkan saudara kita berpaling dari agama Allah, lalai dari mengenal Tuhannya serta meremehkan hak-hak-Nya. Akibatnya ia meninggalkan kewajiban dan terus-menerus berbuat maksiat. Sehingga rasa takut, terhadap azab Allah baik di dunia maupun di akhirat, dari hatinya terus berkurang dan keimanan tidak tersisa sedikit pun.

Adakalanya pula disebabkan saudara kita beribadah kepada Allah namun merasa takjub dengan dirinya serta tertipu dengan amal sholehnya. Akibatnya, ia merasa PD ketika bermaksiat karena yakin amal ibadahnya selama ini akan meneggelamkan dosa-dosanya. Sehingga hilanglah rasa takutnya kepada Allah. Ia menyangka telah sedemikian dekat dan berada pada kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Saudariku yang tegar di jalan dakwah…
Terus menerus melakukan maksiat akan mengakibatkan kerasnya hati, jauh dari Allah, dan lemahnya iman. Sebab iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Terus menerus melakukan maksiat juga akan mengakibatkan maksiat tersebut menjadi suatu kebiasaan sekaligus tempat bergantung bagi pelakunya. Sungguh, jika jiwa itu terbiasa dengan suatu hal maka akan sulit untuk berpisah dengannya. Jika ini telah terjadi pelaku maksiat akan sulit melepaskan diri dari maksiatnya dan setan akan membukakan untuknya pintu-pintu kemaksiatan lainnya yang lebih besar dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Oleh sebab itu, ahli ilmu dan ahli akhlak berkata: “Sesungguhnya kemaksiatan adalah pengantar kekafiran, di mana seseorang akan berpindah-pindah dari satu maksiat kepada maksiat lainnya, setahap demi setahap sampai ia berpaling dari agamanya.” Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik dan keselamatan kepada kita semua. {Majaalis syahri Ramadhan, Pengajar Syari’ah dan Ushuluddin Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah dan anggota Majelis Kibarul Ulama (MUI-nya Kerajaan Saudi Arabia), Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Di samping itu jika kita tidak hati-hati, dalam kehidupan yang kini serba permisif, maka kita akan jatuh pada sikap meremehkan ajaran agama ini. Di mana beberapa sebab pembatal keislaman, sebagaimana rukun islam yang lain rukun syahadat juga memiliki pembatal, di antaranya adalah :
1. Berbuat syirik dalam beribadah kepada Allah.
2. Menjadikan wasa’ith (perantara) antara dia dan Allah.
3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu dengan kekufuran mereka, atau bahkan membenarkan madzhab mereka.
4. Meyakini bahwa selain ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih sempurna daripada ajaran beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Membenci sedikit saja, dari syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Melecehkan –sekalipun sedikit dari- dari agama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Melakukan perbuatan sihir.
8. Membantu kaum musyrikin dan menolong mereka untuk menghancurkan kaum muslimin.
9. Meyakini bolehnya bagi seseorang keluar dari syari’at Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
10. Berpaling dari agama Allah.
(Risalah Mufti ‘Am Kerajaan Saudi Arabia dan Pimpinan Majelis Kibarul Ulama serta Ketua Dewan Divisi Penelitian Ilmiah dan Komisi Fatwa, Syaikh Abdul Aziz bin Baz).

Kriteria pembatal keislaman di atas bukanlah dimaksudkan untuk bermudah-mudahan dalam mengkafirkan saudara kita. Namun, semata-mata dilandasi rasa sayang dan kasihan. Jangan sampai mereka terus-menerus meremehkan ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ini. Jika masalah ini tetap diremehkan maka dikhawatirkan mereka akan termasuk golongan pada point ke-4 atau ke-5.

Keberanian mereka melakukan perbuatan yang dilarang oleh syari’at ini tentunya dilandasi anggapan bahwasanya mereka lebih tahu daripada Rasululllah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tentang jalan hidup yang bagaimanakah yang harus ditempuh. Inilah akibat globalisasi dimana budaya negatif dari barat pun ikut masuk mencemari gaya hidup kaum muslimin. Mereka beranggapan bahwa gaya bergaul yang efektif dan efisien dalam bersosialisasi adalah dengan menyerupai gaya pergaulan bebasnya remaja bule ala dawnson creek. Kalau di Indonesia mengikuti gaya bergaul di sinetron-sinetron remaja yang pernah ngetop atau lagi digandrungi, seperti cinta fitri atau cahaya.

Saudariku yang dicintai Allah…
Dalam kehidupan ini kita akan senantiasa dikelilingi oleh orang yang menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, tak terkecuali saudara kita yang merasa butuh bergaul dengan lawan jenis. Namun sayangnya tanpa memperhatikan batasan syari’at. Entah apakah karena beranggapan bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak atau beranggapan bahwa amalan-amalan shalih mereka sudah begitu melimpah. Sehingga pahala yang mereka kumpulkan pun sudah begitu menggunung.

Apakah shalat-shalat sunnahnya, shalat malamnya, puasa sunnahnya, infaqnya, kegiatan dakwahnya selama ini dan seterusnya dari amalan-amalan shalih yang mereka kerjakan akan seperti lautan yang akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan ? Sehingga, tanpa risih, merindukan kedatangan teman lelakinya untuk menengoknya di pondokan. Kemudian asyik berlama-lama bercengkerama dengannya di bawah naungan sinar lampu beranda pondokan.

Padahal sudah jauh-jauh hari para ulama kita talah mengingatkan umatnya agar terhindar dari bahaya pergaulan bebas ini. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa setiap persahabatan yang dilandasi cinta karena selain Allah, maka pada hari kiamat nanti akan kembali dalam keadaan saling bermusuhan. Kecuali persahabatannya dilandasi cinta karena Allah ‘azza wa jalla, inilah yang kekal selamanya. (Tafsir Ibnu Katsir).

Apakah dinamakan cinta karena Allah jika kita mengharuskan adanya perjumpaan, berboncengan, atau bercanda gurau dengan menerjang rambu-rambu syari’at. Tentunya tidak hanya satu dari saudara kita dalam satu pondokan, baik yang telah mengikuti proses tarbiyah maupun yang belum tersentuh hidayah, masih ada yang belum yakin bahwa perhatian kaum kami yang hakiki adalah setelah menikah? Memang nampaknya jalan menuju ke sana tidak jelas dan butuh kesabaran ekstra. Apalagi kita dikejar usia yang semakin uzur. Sehingga akan membuat kaum hawa khawatir akan penampilannya yang semakin pudar.

Ditambah lagi dengan kondisi keluarga yang memprihatinkan dimana ayahanda sakit-sakitan atau bahkan telah lama ditinggal oleh salah satu atau kedua ortu sekaligus. Sehingga iblis akan mendatangi lalu membisikkanmu untuk segera memperoleh tambatan hati walaupun harus menabrak rambu syari’at. Sebab dengannya masa depanmu akan nampak “jelas” dan “pasti”. Ditambah lagi kondisi kejiwaan kita, baik ikhwan atau akhwat, yang membutuhkan tempat berbagi/perhatian dari orang lain.

Apalagi bagi mereka yang berada jauh dari orang tua dimana hari-harinya diliputi kesedihan yang mendalam tatkala teringat ortunya di seberang laut/sungai. Ketika kami menampakkan diri di hadapanmu sebagai sosok pribadi yang peduli dan perhatian secara “tulus” akan segala masalah kehidupanmu maka engkau dengan serta-merta menganggap telah memperoleh tempat untuk berbagi segala beban kehidupanmu dalam perantauanmu ini.

Saudariku…seringkali kata sabar didengung-dengungkan setiap kali menghadapi segala ujian kehidupan tidak terkecuali ujian ini. Tetaplah bersabar dan ridho dengan keputusan Allah dan berserah diri kepada-Nya. Hindarilah mencari jalan pintas dengan menabrak rambu syari’at-Nya. Sebab salah satu tanda hilangnya iman dalam diri ini ialah ketidak sabaran dalam menjalani ketaatan kepada Rabbnya.
Imam Ahmad mengatakan, “Sabar disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak lebih dari 70 ayat. Kaitan sabar dan iman seperti halnya kedudukan kepala dan jasad. Seseorang yang tidak sabar dalam melaksaknakan ketaatan, dalam menjauhi kemaksiatan serta ketika tertimpa musibah maka ia sudah kehilangan sebagian besar dari imannya.”
(Kitab At-Tamhid: 391).

Sejatinya kesusahan bagi seorang muslim merupakan kebaikan jika dia bersabar. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim).

Namun masih banyak yang tidak setuju dengan perjodohan atau ta'aruf yang hanya mengenal beberapa hari saja. Alasannya pernikahan itu sakral dan untuk selama-lamanya. Jadi mesti hati-hati memilih pasangan hidup.Sehingga akan bermunculan problematika seperti ini, bagaimana bisa memahami karakter masing-masing calon kalau hanya bertemu sesekali ?
Atau yang lainnya seperti,
Dalam pergaulan sehari-hari, tentunya kalian berkepentingan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki, berkomitmen untuk menikah nanti setelah semua cita-cita pribadi maupun harapan orang tua tercapai, tetap menjaga tanpa adanya kontak kulit, dan dalam pertemuan hanya sebatas cerita untuk mengenal satu sama lain, apakah hubungan kayak gini tetap nggak boleh?

Terbiasanya umat ini dengan gaya bergaul tanpa mengindahkan syari’at mengakibatkan semakin dilupakannya akhlak Islami yang mestinya ditegakkan. Bahkan mereka menganggap kebiasaan itu jauh lebih baik dan lebih tinggi nilainya daripada syari’at Allah yang mengharamkanya. Orang yang berpegang teguh pada agama ini malah dikatakan kuper, lugu, kolot, ketinggalan zaman, kaku, sulit beradaptasi, ekstrim, hendak memutuskan tali silaturrahim, dan sebagainya.

Saudariku…sekali lagi janganlah engkau tertipu dengan kata-kata manis dari kami karena sesungguhnya Allah Ta’ala belumlah menampakkan aib/topeng kami di hadapanmu.

Oleh karenanya perhatian kami terhadap kalian sebelum menikahlah yang haruslah diwaspadai karena dibangun di atas dusta dan kebohongan. Kami telah mengemasnya sedemikian rupa semata-mata untuk bersenang-senang memuaskan hawa nafsu yang tak lama kemudian akan tampaklah kenyataan yang sesungguhnya.

Bukankah Islam tidak mengenal pacaran ? Bukankah Islam menganjurkan nikah dulu baru cinta, bukan cinta dulu baru nikah. Kemudian kalau mereka mengatakan bahwasanya pacaran itu supaya tahu pacarnya, maka perlu diketahui bahwa pacaran itu bukan ukuran. Kebanyakan diantara mereka setelah menikah baru masing-masing tahu aslinya sehingga tidak jarang diantara mereka setelah lama berpacaran, 4 tahun pacaran, baru menikah satu tahun sudah bubar gara-gara mereka telah bercinta dulu sebelum menikah sehingga ketika menikahpun cinta mereka telah habis.

Jadi solusi yang benar adalah menikah dulu, kemudian setelah menikah baru bercinta. Namun ketika sebelum menikah ada proses-prosenya dulu, yaitu saling tukar menukar
biodata, kemudian banyak tanya bagaimana akhlaknya, agamanya, setelah semuanya cocok, sholat istikharah terlebih dahulu, lalu bermusyawarah, kemudian juga nadhor
(melihat calon pasangannya), baru nikah. Jikalau engkau mau sedikit berfikir maka perhatian kami yang tulus terhadapmu hanyalah bisa dibuktikan dengan menikahimu. Kemudian pasti akan timbul sakinah, kedamaian ketentraman dan didalamnya ada mawadah warahmah (cinta dan kasih sayang) yang sejati.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Rum: 21).

Sekali lagi percayalah janji Allah yang akan mempertemukan kalian dengan pasangan yang sesuai dengan kapasitas kalian. Sengaja mempromosikan diri sebagai sosok wanita yang senang menyerempet syariat-nya. Maka secara tidak langsung kalian minta dijodohkan oleh-Nya dengan pasangan hidup yang seperti itu pula. Apakah yang itu yang diidam-idamkan oleh kalian selama ini ? Na‘udzubillahi min dzalik.

Allah telah mengingatkan hamba-Nya agar senantiasa memperbaiki diri masing-masing. Agar dijauhkan darinya pasangan hidup yang keji. Sebagaimana Allah telah berfirman yang artinya,
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laik-laki yan keji, dan laki-laki yan gkeji untuk perempuan-perempuan yang keji(pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”. (QS. An-Nur: 26).

Bukankah sudah banyak contoh keluarga selebritis yang hancur berantakan padahal mereka telah berpacaran sebelum akad pernikahan. Bahkan telah sampai tahapan hubungan layaknya suami istri (bersentuhan, berpelukan, pegang-pegangan, cubit-cubitan, senggol-senggolan hingga perzinaan) lalu berikrar akan setia satu sama lain sampai ajal menjemput.

Apakah itu semua belum cukup untuk dijadikan bahan pelajaran atau cukupkah hanya sebagai bahan renungan belaka?

Saudariku yang budiman…
Ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang diinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran : 14)

Tentunya ukhti dan saudara-saudaramu di pondokan telah meyakini bahwa agama ini adalah agama yang sempurna. Dimana di dalamnya telah diatur seluk beluk kehidupan manusia mulai dari adab buang air hingga hukum ketatanegaraan. Termasuk juga bagaimana pergaulan antara lawan jenis yang membawa keselamatan di dunia dan akhirat, di antaranya:

Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis. Apakah hal ini pernah kami, para lelaki, lakukan ketika berduaan denganmu ? Sebagian besar kita beralasan bahwa hijabnya di hati. Jadi kalau nggak ada perasaan apa-apa dengannya maka tidak perlu menundukkan pandangan. Kok dengan lancangnya diri ini berani men-tazkiyah/menganggap lebih suci dan sholeh dibandingkan para sahabat nabi atau istri-istri beliau.

Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 30).
“Dan katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 31).

Kemudian apakah jika kami berduaan denganmu ditemani cahaya lampu beranda tidak melanggar syari’at. Lebih ngerinya lagi jika ini “terpaksa” dilakukan oleh seorang muslimah, ia akan mencari-cari orang/teman kosnya untuk dijadikan mahrom-mahroman. Bukankah ini termasuk berdusta atas nama agama dan ia sedang menyelisihi perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam demi mengikuti bisikan setan serta tercapainya tujuan pribadi.



Padahal Allah telah berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan”
(QS. An-Nisaa’: 14).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu
menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 21).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali pihak ketiganya adalah setan (HR. Tirmidzi, 3/474 misyakatul mashabih, 3188).
{Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern}

Memangnya kalau sudah tumbuh benih-benih cinta diantara kita engkau dapat menjamin kami tetap akan menampakkan kesopanan, kesholehan, dan rasa malu yang tinggi, sebagaimana dulu kita pertama kali berjumpa. Dapatkah engkau menjamin bahwa kami, yang nampaknya bertanggung jawab ini, tidak akan minta “yang macam-macam”, sebagai pembuktian rasa cinta ?

Walaupun sebenarnya kami sadar hal itu dilarang oleh agama ini. Namun, yang namanya iblis, dengan pengalamannya yang berabad-abad, akan senantiasa berusaha membuat indah dan mulus jalan kemaksiatan. Ditambah lagi bertumpuknya kemaksiatan di dalam hati kami telah menyebabkan dominasi maksiat terpatri dalam hati dan membuat kami cenderung dan terikat pada maksiat tersebut.

Saudariku yang senantiasa menjaga malu…
Kemaksiatan akan memadamkan cahaya berupa ilmu yang telah dikaruniakan oleh Allah di dalam hati. Imam Syafi’i menceritakan pengalaman pribadinya kepada gurunya dalam bait syair berikut:

Aku mengadu kepada imam Waqi’ tentang jeleknya daya hafalku
Maka ia mengarahkanku agar meninggalkan maksiat.
Ia berkata, “Ketauhilah, sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya,
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada ahli maksiat.

Oleh karenanya saudariku…seringnya mengulangi perbuatan maksiat sehabis bertobat akan semakin melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta kepada selain-Nya dalam hati ini. Bahkan lemahnya iman dapat menguasai dan mendominasi diri ini sehingga tidak tersisa dalam hati ini tempat untuk cinta kepada Allah kecuali sedikit bisikan jiwa.

Pengaruh iman tidak akan terasakan dalam melawan dorongan jiwa, menahan maksiat serta menganjurkan berbuat baik. Akibatnya diri ini akan semakin terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan perbuatan maksiat. Sehingga noda hitam dosa menumpuk di dalam hati dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang lemah dalam hati.

Lalu dapatkah engkau menjamin keakaraban kita mampu menahan kami untuk tidak menyentuhmu. Tentu saja hal ini tidak termasuk dalam larangan tersebut, hal-hal yang bersifat darurat dibutuhkan atau yang terjadi pada tempat ibadah seperti di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ketika kedua tempat tersebut penuh sesak terutama ketika musim haji tiba.

Menyentuh saja dicegah apalagi sampai cubit-cubitan. Ini dikarenakan menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar.

Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan).

Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga sampai bersabda, “Sungguh jika seorang pria disentuh oleh seekor babi yang berlumur tanah dan Lumpur, itu lebih baik baginya dari pada bila pundaknya disentuh oleh pundak wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Ath-Thabarani).

Mengapa masih ada saudara sepondokan, baik yang paham syari’at Islam maupun jahil terhadap agama ini, dengan santainya nekat menyerempet rambu-rambu syari’at. Dengan beralasan bahwa kami masih mampu kok menjaga hati atau beranggapan amalan ibadahnya sudah menggunung dan Allah Maha Pengampun sehingga berkenan melebur dosa-dosanya ? Padahal Allah sudah mengingatkan hamba-Nya untuk tidak coba-coba mendekati jalan-jalan menuju zina. Serta bukankah Allah telah mengingatkan kalian akan ketidakhalalan gaya bergaul semacam ini.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra’: 32).
”Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan pacar. Barang siapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di Akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 5).
Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka usaha kami untuk menjadi “pelindungmu” dapat diibaratkan orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja kami bisa masuk. Bukankah saat berpacaran kami tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang ? Bukankah denganmu kami sering melembut-lembutkan (ini kalo belum akrab) suara di hadapanmu ? bukankah kami akan senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaanmu ? Maka farji pun akan segera mengikutinya.
Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas keberhasilan usahanya.

Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Allah tidak menjadikan mata itu sebagai cermin hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat…” Beliau juga menuturkan, “Dalam hadits shahih disebutkan bahwa :

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustaknnya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Tentunya akan sulit bagi iblis dan bala tentaranya untuk menggelincirkan sebagian saudara kita sampai terjatuh ke dalam jurang pacaran gaya cipika-cipiki atau yang semodel dengan itu. Akan tetapi yang perlu kita ingat, bahwasanya iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan semua manusia, baik aktivis muslim maupun orang awam, dengan segenap upayanya. Jangan lupa ia didukung bala tentara yang sudah professional karena ditunjang pengalaman yang berabad-abad dalam hal menggelincirkan umat ini ke dalam jurang kemaksiatan.
Iblis telah bersumpah yang artinya,“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.”(QS. Shaad: 82).

Kalaulah iblis tidak berhasil merusak agama seseorang dengan menjerumuskan mereka ke dalam gaya pacaran cipika-cipiki, mungkin cukuplah bagi iblis untuk bisa tertawa dengan membuat kita berpacaran lewat telepon, SMS atau yang lainnya.

Yang cukup menyedihkan, terkadang gaya pacaran seperti ini dibungkus dengan agama seperti dengan pura-pura bertanya tentang masalah agama kepada lawan jenisnya (Hal ini kami lakukan semata-mata untuk menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah sosok pribadi yang peduli akan perbaikan agama dan akhlak), saling pinjam meminjamkan buku agama (kalau diserap ilmunya masih mendingan, lha kalau cuma jadi teman tidur kan lebih parah), peduli kondisi ruhiyah- mu misalnya dengan mengirim tausiyah lewat media SMS atau lainnya, miss called atau meng-SMS-mu untuk bangun shalat tahajjud dan lain-lain.

Oleh karenanya Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintahkan orang-orang mukmin agar tetap menjaga dirinya agar tidak tergelincir dalam bahaya ini meskipun dirinya sudah merasa sholeh. Sebab Allah Ta’ala selalu menyaksikan amal perbuatan mereka,
“Dia mengetahui (pandangan)mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghafir: 19).

Tatkala seseorang terbiasa melakukan dosa dan hatinya telah tertutupi oleh karat kemaksiatan. Maka ia pun tidak lagi merasa risih terhadap pandangan dan gunjingan orang atas kemaksiatannya. Dia bahkan merasa bangga atas perbuatan kemaksiatannya dan dengan PD nya ia akan berkata, “Wahai fulan, aku telah berbuat begini dan begini!.” Manusia macam inilah yang tidak diampuni dosanya dan menjadi sempitlah jalan taubat atas dirinya sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali bagi orang yang terang-terangan melakukan dosa.” (HR. Bukhari & Muslim).

Ada sebagian di antara kita beralasan ketika diingatkan akan bahaya pergaulan di atas, “Pergaulan semacam ini nggak masalah, yang penting kan hati tetap terjaga karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat rupa maupun tubuh kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”

Walaupun hati ini adalah raja, terkadang tanpa disadari, hati dapat terbelenggu dengan berbagai macam keinginan dan tujuan hidup pemiliknya. Orang yang sangat cinta harta misalnya, akan menjadikan seluruh tujuan hidupnya demi mendapatkan harta.

Sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham, celakalah budak qothifah (sejenis kain beludru). Sungguh ia celaka dan sakit. Apabila dia tertusuk duri maka tidak akan tercabut. Jika dia diberi, merasa ridho, namun, jika tidak, dia marah.”(HR. Bukhari).

Setiap amal yang kita lakukan, baik buruknya merupakan cerminan dari hati kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…ketauhilah bahwa sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Namun, jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketauhilah, bahwa ia (segumpal daging tersebut) adalah hati.” (HR. Bukhari).

Ketauhilah wahai saudariku, Allah terkadang menghukum kita misalnya dengan penyakit, baik yang dirasakan langsung diri kita maupun yang menimpa keluarga kita. Ingatlah itu semua disebabkan atas dosa dan kesalahan kita!!!. Janganlah menyalahkan-Nya, salahkan saja diri yang hina ini.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”( Asy-Syuura: 30).

“Dan Kami tidaklah menganiaya diri mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Hud: 11).

Allah akan terus-menerus memberi teguran atas banyaknya dosa dan maksiat yang kita lakukan. Sebagaimana Allah telah berfirman yang artinya,

“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (QS. Al Ahqof: 27).

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Pada suatu malam aku bermimpi didatangi dua orang. Keduanya berkata kepadaku, Pergilah! -kemudian beliau menyebutkan haditsnya sampai pada sabdanya -:
Kemudian kami mendatangi bangunan seperti tanur yang di dalamnya terdengar suara gaduh memekik. Kamipun melongoknya. Ternyata di dalamnya terdapat pria dan wanita telanjang yang disambar oleh lidah api dari bawah mereka. Ketika lidah api itu mengenai mereka, merekapun memekik kepanasan dan kesakitan. Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menanyakan hal tersebut kepada malaikat, mereka menjawab: Adapun pria dan wanita yang ada di tanur tersebut mereka adalah laki-laki dan wanita pezina.



Maka masihkah engkau ingin saudara serumahmu menjadi bagian dari mereka wahai saudariku ?
Tentunya engkau menginginkan turunnya kecintaan dan pertolongan Allah kepada seluruh penghuni rumah, bukan ? Oleh karenanya dalam hal ini Allah mensyaratkan melalui lisan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

“Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah dan memusuhi karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan Allah hanya dapat diperoleh dengan hal tersebut. Seorang hamba tidak akan merasakan nikmat iman, sekalipun banyak shalat dan puasa, sehingga bersikap demikian.”
(HR. Ibnu Jarir).

Namun, sangat disayangkan sekali keadaan di pondokan. Dimanakah rasa wala & bara’ (cinta dan benci) kita tempatkan ? Apakah kita tetap merasa sama saja. Baik itu bergaul dengan pelaku kemaksiatan maupun dengan teman liqo. Sehingga tidak ada usaha sedikitpun dari kita untuk mengingatkannya. Akibatnya dapat ditebak, mereka seakan-akan tidak merasa bersalah. Karena tidak ada saudara sepondokannya yang menegur perilakunya selama ini

Memang mencintai lawan jenis merupakan sebuah kewajaran, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga demikian. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. Dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian.” (HR. Muslim).

Namun, manusia diciptakan dalam keadaan lemah ketika menghadapi fitnah syahwat. Oleh karenanya janganlah engkau tertipu oleh penampilan kami, para lelaki, layaknya orang yang sholeh terlebih-lebih terhadap orang awam(jahil akan agama ini). Walaupun dhohir- nya kami kelihatan sopan dan bertanggung jawab namun itu semua akan segera pupus dan tampaklah wajah asli kami tatkala engkau telah berada dalam gengaman kami.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisaa’ : 28). Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita.” (Roudhotul Muhibbin).

Maka wajib bagi kita untuk senantiasa bersabar, bersabar dan bersabar. Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi dosa-dosa. Semoga Allah merahmati Imam Ahmad yang mengatakan bahwa sabar adalah terus menerus sampai seseorang menapakkan kakinya di Surga kelak.

Ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah radhiallahu'anhu tentang makna takwa, Abu Hurairah radhiallahu'anhu kemudian bertanya kepada orang tersebut, Apakah engkau pernah melewati jalan yang berduri? Ia menjawab, Ya pernah. Abu Hurairah radhiallahu'anhu bertanya lagi, Apa yang engkau lakukan, Ia menjawab, Jika aku melihat duri maka aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya, Abu Hurairah radhiallahu'anhu berkata, seperti itulah takwa.

Akan lebih bijak apabila kemaksiatan di pondokan tersebut diselesaikan oleh kaummu sendiri( ibu kos atau teman-teman satu kos). Sebab akan lebih mengena dan tidak menimbulkan prasangka negatif terhadap kami dari si pelaku kemaksiatan tersebut, baik dari kaum kami maupun dari kaum hawa.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim: 6).

Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata tentang ayat ini “Ajarilah mereka (keluarga kalian) tentang adab dan ilmu”. Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan “Lakukan ketaatan kepada Allah dan tinggalkanlah maksiat kepada Allah! Dan perintahkan keluarga kalian untuk zikir, supaya Allah menyelamatkan kalian dari siksa neraka”. (Tafsir Ibnu Katsir).

Saudariku yang sedang menghadapi ujian kehidupan…
Munculnya fenomena di atas di kalangan kaum terpelajar, baik berstatus aktivis maupun bukan, tentunya bukan saja tanggung jawab pemilik pondokan untuk mengingatkan penghuninya untuk tidak melakukan kemaksiatan terselubung tersebut. Namun amar ma’ruf nahi mungkar ini sudah menjadi tanggung jawab segenap penghuni, baik pemilik maupun anak kos. Apabila seseorang telah menganggap remeh suatu dosa, ketahuilah saudariku bahwa, sesungguhnya dia telah terpedaya oleh iblis, walaupun mereka telah banyak beramal dengan amalan-amalan ketaatan.

Maka bukanlah dikatakan takwa jika seseorang sengaja menerjang rambu-rambu syariat, mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.

Saudariku yang senantiasa menjaga kesholehan sosial…renungkanlah hadits ini…
Tsauban radhiaallahu'anhu meriwayatkan sebuah hadits yang dapat membuat orang-orang shalih susah tidur dan selalu mengkhawatirkan amal-amal mereka. Tsauban radhiaallahu'anhu berkata, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan, Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!, Beliau bersabda, Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya.
(HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh AlBani dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)

Saudariku, masihkah kita merasa bangga dengan status kita sebagai aktivis muslim namun kita tidak pernah merasa miris ketika mengetahui ada saudara seiman, sepondokan,atau seangkatan maupun yang tidak seangkatan yang sengaja menjatuhkan dirinya dalam pergaulan tanpa batasan syar’i ?

Apakah ilmu teman-teman sepondokan selama ini hanya berguna bagi organisasinya saja dan mengacuhkan kondisi pergaulan di pondokannya. Kami menyadari kesibukan ukhti baik sebagai mahasiswi maupun sebagai aktivis dakwah. Namun bukankah tidak ada salahnya kami meminta secuil pengalamanmu dalam berdakwah di kampus/masyarakat. Demi kondisi pondokan yang lebih baik di masa depan. Amiin.

Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
“Dan haruslah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron: 104).

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiap-tiap amal (pekerjaan) ada masa-masa semangat, dan tiap-tiap masa semangat ada masa lelahnya maka barangsiapa lelah letihnya karena melaksanakan ajaranku, maka ia telah mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa lelah letihnya bukan karena melaksanakan ajaranku, maka dia termasuk orang yang binasa.” (HR. Hakim dan Al Baihaqi).

Kami yakin ukhti telah mengingkarinya dengan hati. Kini saatnya kalian bersama pemilik pondokan berusaha mencegah kemaksiatan yang dilakukan oleh sesama penghuni kos melalui lisan. Kemudian tanggung jawab pemilik pondokanlah untuk menindak lanjuti penghuni yang nakal tersebut dengan kekuasaannya.

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka hendaklah ia mengubah dengan lisan, serta kalau ia tidak sanggup maka hendaklah ia mengubahnya dengan hati, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Saudariku…kuingin berbagi kebiasaan kaum kami dalam berhubungan dengan kalian. Beberapa contoh riil di bawah ini kami sampaikan semata-mata bertujuan agar saudari kita dalam pondokan mampu melepaskan diri dari jeratan teman-teman kami, para serigala berbulu domba. Apakah beberapa manuver ini pernah ukhti alami ?

Kami senang sekali bercakap-cakap dengan kalian, entah itu dalam urusan tugas kuliah maupun untuk sesuatu yang nampaknya dipaksakan baik itu secara langsung maupun via telepon. Bila tidak ada urusan pun kami akan berusaha mencari-cari celah agar dapat berjumpa denganmu atau sekedar mengobrol satu atau dua menit. Sebenarnya kami sadar Allah merekamnya demikian juga setan dari jenis jin maupun manusia pun ikut membuat suasana pertemuan itu semakin nyaman dan akrab.

Sebagaimana salah satu firman-Nya,
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10-12).

Kami, para petualang cinta, akan terus menggunakan sarana ini sebagai alat untuk semakin mengenalkan diri kami kepada kalian. Agar kalian semakin akrab, rindu, dan betah bergaul dengan kami. Kondisi semacam ini dapat diqiyaskan juga ke dalamnya chating. Tentunya chating yang tiada ujung pangkalnya dan hanya membuang waktu semata. Apalagi sekarang telah ada teknologi messenger yang didukung oleh perangkat webcam. Pastinya semua itu akan semakin menambah nyaman bagi kami.

Memang di kajian-kajian kami sering diingatkan akan bahaya ini.
Sebagaimana yang disabdakan Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam,
”Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita.” (HR. Muslim).

Namun, itu semua sepertinya menguap begitu saja tatkala wanita yang menjadi incaran kami ada di hadapan mata. Apalagi di era globalisasi sekarang ini ketika arus informasi dengan mudahnya diakses. Cukup dengan mengklik tombol, si dia pun hadir di hadapan kami. Terpaan syubhat teknologi inilah yang tidak dapat kita bendung sehingga menggiring kita semakin terlena akan godaan ini.
Jika kita acuhkan maka pastilah kita akan dikucilkan oleh teman sepermainan dan dianggap nggak gaul, kuper atau gaptek (gagap teknologi).

Langkah selanjutnya, seiring dengan kemajuan teknologi. Dimana bertebaran tempat-tempat foto kilat di pusat perbelanjaan yang biasa digunakan kaum muda-mudi untuk mengekspresikan persahabatannya. Demikian pula munculnya software pengolah gambar serta hp dengan fasilitas foto mutakhir akan semakin memudahkan kami untuk menyalahgunakannya.

Oleh karenanya Saudariku …janganlah engkau bermudah-mudahan mau difoto oleh kami atau memfoto dirimu kecuali karena suatu hajat dan janganlah terlalu mudah engkau sebarluaskan fotomu dengan segala bentuknya karena hal tersebut merupakan celah bagi kami, para serigala manusia, untuk berusaha menerkammu.

Selain itu kami sangat senang apabila engkau membalas “sinyal” dari kami. Entah itu berwujud sms,telpon,email atau respon apapun tergantung kecanggihan teknologi saat itu. Terutama yang bersifat tidak penting atau sekedar iseng. Kami anggap itu adalah salah satu bentuk perhatian darimu. Oleh karenanya berhati-hatilah dalam memberi respon balik karena hal itu akan membuat kami semakin “terbang jauh di awan”. Dan merupakan sarana efektif yang akan kami gunakan untuk semakin mengakrabkan “ukhuwah” kita ini.

Saudariku…kami juga sangat berharap engkau merasa diperhatikan oleh kami. Terutama sekali di saat-saat momen spesial dalam hidupmu. Entah itu dengan kunjungan ke kosmu, mentraktirmu (kalau mangsa udah kecantol biasanya gantian yang ntraktir tergantung momennya), menemanimu shopping, menghadiahkanmu sesuatu yang tidak engkau duga-duga atau sekedar mengirimkan ucapan bernada “kepedulian sosial” via telepon. Namun…kalaulah isi dompet atau jarak membatasi kita cukuplah kukirim salam hangat via SMS atau e-mail.

Saudariku yang tegar menghadapi godaan…
Dalam bergaul dengan lawan jenis tentunya kami akan menyerumu dengan kata-kata puitis yang bernada menghalalkan adanya cinta (pacaran) sebelum pernikahan, menampakkan keramahan, kesholehan, kejujuran dan keikhlasan, menyatakan sangat menghargai dan menjunjung tinggi kehormatanmu serta berlemah lembut dalam pembicaraan.

Kami juga memahami engkau lebih suka bergaul dengan teman sharing yang humoris dan open minded. Sehingga kami pun akan berusaha semaksimal mungkin membahagiakanmu dengan gurauan yang kami miliki. Semata-mata ingin membuatmu betah & nyaman berteman bersama kami. Biasanya dalam bergaul denganmu kugunakan perkataan yang nampaknya menyakitkanmu namun sejatinya untuk menggodamu. Tentunya jikalau engkau bijak akan engkau dapati kata-kata aneh namun lucu dariku, seperti si jelex, cerewet, atau mengubah-ubah namamu menjadi bahan candaan. Inti dari semua itu ialah menjadikan suasana pertemuan kita tidak garing dan terus mengalir. Hingga waktu memisahkan kita.

Yang terpenting bagi kami di hadapanmu ialah kami akan senantiasa berusaha tampil perfect dan bersikap sebagai pelindungmu, dalam segala hal. Namun sejatinya kami mengkhianati keluargamu dengan semua topeng kemunafikan di atas,baik itu dengan jalan meneleponmu, mengirimkan sms tausiyah, me-missed call-mu agar bangun untuk shalat malam, mengajakmu jalan bersama atau mengantarkanmu ke manapun tujuanmu dengan motor (berboncengan) atau mobil dan segala kebusukan lainnya.

Sungguh kami melakukan semua itu dengan tujuan-tujuan busuk yang pasti akan tampak jelas hanya bagi orang yang memikirkannya. Akankah kami benar-benar menjunjung tinggi kehormatanmu sementara kami mengajakmu bercengkerama, berjumpa dan jalan/berboncengan bersama, tanpa ada batasan syari’at di dalamnya, padahal engkau belum halal bagi kami ? Percayalah bahwasanya hawa nafsu telah merasuki pikiran kami untuk meminta waktumu agar dapat berjumpa/ bercengkerama/ ber –kholwat denganmu. Berhati-hatilah karena saat itu kami bukanlah sosok pribadi yang engkau kenal. Namun telah beralih menjadi lebih sesat daripada hewan ternak.

Sebenarnya Allah telah mengingatkan umatnya akan bahaya bermain-main dengan hawa nafsu.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (QS. Al Furqan: 43-44).

Saudariku… teguhkanlah hatimu untuk tetap tidak tergoda bujuk rayu kami.
Ibunda kaum muslimin ‘Aisyah radhiyallahu‘anha menceritakan, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sering kali memanjatkan doa, “Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘alaa tha’aatik” (Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hati hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu).
Melihat sikapnya itu maka ‘Aisyah radhiyallahu‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Anda sering sekali memanjatkan doa ini. Apakah Anda juga merasa khawatir ?” Lalu beliau pun bersabda,

“Apakah yang dapat membuatku merasa tenang wahai ‘Aisyah, sementara hati-hati manusia itu berada di antara dua jari-jemari Ar-Rahman. Dia membolak-balikkan hati menurut kehendak-Nya. Apabila Dia ingin membalikkan hati seorang hamba maka Dia pun membalikkannya.”
(HR.Ahmad, Ibnu Abi’Ashim, Abu Ya’la, dan Al Ajurri. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Zhilalul Jannah).

Kalau Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam saja seperti ini maka bagaimanakah lagi dengan kita ? Oleh karenanya mohonlah kepada Allah untuk tetap teguh di atas jalur ketaatan. Agar engkau terhindar dari manuver dan kata-kata manis dari kaum kami. Yang tidak ada obat manapun yang mampu menyadarkanmu bila telah terbius olehnya. Terkecuali berobat dengan apa-apa yang telah diajarkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan wasiat para ulama.

Munculnya kerinduan akan kasih sayang dari lawan jenis tentunya tidak akan muncul begitu saja. Semuanya butuh proses tidak terkecuali masalah yang satu ini. Bacaan, tontonan televisi, serta dan kisah-kisah cinta yang rendah, hina penuh aib dan cela (harus difilter dg sudut pandang ilmu syar’i, ada nggak sih manfaatnya), merupakan akar dari tumbuhnya pohon cinta. Engkau akan dapati di dalamnya zat, yang lebih hebat daya pengaruhnya dibandingkan racikan kimia terbaik buatan manusia manapun, yang akan membiusmu perlahan-lahan tanpa engkau sadari. Racun itu menyelinap di antara indahnya halaman tabloid yang warna-warni, suguhan tayangan yang memanjakan mata untuk tetap menontonnya, serta kertas majalah yang halus mengkilap dan wangi.




Murid Ibnu Taimiyah yaitu Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengemukakan enam tahapan yang dilalui setan dalam menyesatkan dan memperdaya manusia.
Tahap pertama ialah pengkafiran atau pemusyrikan manusia. Kalau yang diajaknya itu muslim, yang beriman teguh, tidak dapat dikafirkan, dan tidak dapat dimusyrikkan, setan melangkah ke tahap kedua.
Tahap kedua ialah pembid’ahan.
Kalau yang didakwahi setan ini orang yang kokoh dan istiqomah pada ajaran Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, setan akan melangkah pada tahap ketiga.
Tahap ketiga yaitu menjebak orang Islam kepada kaba’ir (dosa-dosa besar).
Kalau yang bersangkutan beriman teguh. Setan tidak pernah berputus asa. Ia segera beralih ke tahap keempat.
Tahap keempat yaitu menjebak manusia dengan dosa-dosa kecil.
Kalau masih gagal, setan segera melangkah ke tahap kelima.
Tahap kelima yaitu menyibukkan manusia kepada masalah-masalah yang mubah (boleh). Sehingga yang bersangkutan menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang mubah, yang dampaknya, lupa menunaikan perbuatan-perbuatan yang dicintai Allah Ta’ala. Misalnya: Frekuensi membaca/mendengarkan Al Quran lebih sedikit daripada aktivitas menonton film/membaca novel. Kalau tahap kelima ini tetap gagal juga, setan akan melanjutkannya ke tahap keenam.
Tahap keenam yaitu menyibukkan manusia dalam urusan-urusan kurang bermanfaat atau yang manfaatnya lebih kecil sehingga dampak persoalan yang lebih penting dan yang lebih baik jadi tertinggalkan dan terabaikan. Misalnya, sibuk dengan amalan sunnah sehingga amalan wajib tertinggalkan.

Saudariku yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat wanita…
Apakah pemilik pondokan atau ukhti bersalah, jika di pondokannya, menginginkan penghuninya memilih tayangan yang bermutu serta menjauhi infotainment, program acara, sinetron-sinetron,dan film-film yang hina, yang hanya menonjolkan kemewahan serta gemerlapnya dunia, menyajikan kisah cinta dengan akting yang justru merendahkan martabat wanita.Dimana tinggi rendahnya nilai seseorang harus ditunjukkan dengan besar kecilnya rasa sayangnya kepada kekasihnya. Atau apakah berdosa mematikan akses ke televisi agar penghuni atau saudaranya menjauhi semua itu karena hanya akan merusak akhlak, kehormatan, serta rasa malunya.

Tentunya semua itu harus dilakukan dengan niat ikhlas berdakwah lillahi ta’ala serta penuh hikmah agar mereka segera sadar akan kekeliruannya selama ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa seperti orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Pada tafsir surat Al ‘Ashr, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (dakwah dan sabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat-empatnya, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar”.
(Taisiir Karimir Rohman).





Yakinlah selama jalan yang kita tempuh berada di koridor-Nya, Insya Allah, Allah akan senantiasa memudahkan segala urusan orang yang menolong agama-Nya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.
(QS. Muhammad: 7).

Menolong agama Allah Ta’ala tentunya bukanlah dengan jalan menjadi aktivis di lembaga dakwah kampus atau istiqomah beramal tetapi masih hobi melanggar ketentuan-Nya. Tolonglah agama ini dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembayang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar.” (QS. Al-Hajj: 40-41).

Dari ayat di atas terlihat jelas bahwa sebab terbesar datangnya pertolongan Allah adalah dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara bentuk mentaati Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mempelajari dan memahami agama ini. Paham akan segala konsekuensi yang kelak kita terima apabila berani melanggar larangan-Nya. Serta bertekad meninggalkan kemaksiatan yang biasa dahulu dilakukan semasa masih jahil terhadap agama ini.

Sekali lagi kami memohon pertolongan saudariku, yang telah lebih dahulu memperoleh hidayah, untuk segera menjauhkan pondokan ini dari azab Allah. Tentunya dengan jalan tidak membiarkan saudari kita semakin terlena atas perbuatannya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’rof: 96).

Allah Ta’ala juga berfirman, “Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. AL-Anfal: 73).

Saudariku…ingatlah kita adalah perantau…
Kenikmatan hidup seringkali membuat kita lupa diri dan tidak tahu diri. Sehingga kita lupa dimanakah tujuan akhir hidup ini dan akan kemanakah kita !!!
Dan untuk apa kita dihidupkan oleh-Nya di muka bumi ini.
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Surga dan neraka telah diperlihatkan kepadaku, maka aku belum pernah memandang hari yang lebih banyak mengandung kebaikan sekaligus keburukan daripada hari ini. Kalau kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis” Anas bin Malik melanjutkan, “Tidak ada hari setelah itu yang lebih berat bagi para Sahabat dibandingkan dengan hari tersebut. Pada hari itu, mereka semua menutup kepalanya sambil terisak-isak karena tangisan” (HR Bukhari dan Muslim)




Bagaimana saudariku? Apakah hatimu tergetar mendengar hadits ini? Kalau seandainya tidak, maka engkau adalah manusia yang sangat perlu untuk dikasihani, bagaimana tidak? Para sahabat yang jiwa, raga dan hartanya telah mereka curahkan untuk membela dan memperjuangkan Islam, dengan ketakwaannya mereka adalah manusia yang sangat takut kalau-kalau akhir kehidupan mereka di neraka.

Sementara kita….? Apa yang telah kita persiapkan? Apa yang telah kita berikan untuk Islam dan kaum muslimin ? Mereka dihina, dimusuhi, dilempari, diusir dari kampung halaman, disiksa seperti Bilal, lantas…pernahkah kita mengalami hal seperti itu?

Dalam riwayat lain disebutkan:
“Demi Allah, kalau kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit bersenang-senang dan banyak menangis, dan kalian juga tidak akan bersenang-senang terus di atas ranjang dengan istri kalian, lalu kalian akan keluar menuju ke pegunungan (tempat menyepi) untuk beribadah kepada Allah” Abu Dzar berkata, “Sampai-sampai aku menginginkan kalau diriku hanyalah pohon yang tumbang” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).

Begitulah, begitu mengerikannya ketika kita dihisab di akhirat, hanya ada 2 pilihan, surga atau neraka, sampai-sampai Abu Dzar, seorang sahabat Nabi yang keimanan dan amalnya tidak kita ragukan, membela Nabi, membela Islam…, beliau kalau diminta memilih daripada dihisab, beliau memilih menjadi sebatang pohon karena pohon tidak ada beban yang harus dipertanggungjawabkan. Bagaimana dengan kita? Apa yang sudah kita siapkan untuk hari perhitungan nanti? Apakah kita sudah menyiapkan amalan-amalan kebaikan? Apakah kita sudah berprinsip bahwa “waktu adalah ibadah”, atau malah selama ini kita hanya membuang-buang waktu dengan sesuatu yang kuran